Kamis, 25 Agustus 2011

ISLAM KOKO


Kemal tak pernah melihat bangunan setinggi itu sebelumnya, kokoh berdiri, bertahta emas berkilau. Entah berapa banyak nasi bungkus yang bisa dibeli dengan emas sebesar itu, pikirnya, disusul oleh bunyi perut keroncongan.
“Kau tahu, Mal? Emas yang ada di atas sana katanya bisa membayar seperseratus hutang negeri ini.” Harsya membanyol.
Kemal tak membalas. Tak ingin terlihat bodoh dengan pengetahuannya tentang Indonesia yang masih dangkal. Ia kembali menengadah, tertuju pada emas yang membatu di puncak monumen itu. Teringat simboknya[1] di kampung yang terobsesi untuk memiliki cincin emas. Miliknya satu-satunya sudah ia jual ketika Kemal masuk pesantren di Solo, cincin kawin peninggalan almarhum bapak. Dan itu selalu membuat ia kena marah jika rapotnya tak pernah bisa dibanggakan, atau jika kiai ajengan memanggil simboknya tiap akhir bulan. “Anak tak tahu diuntung!” katanya. Ah, ingin sekali ia mencomot sedikit saja bongkahan emas itu, lalu

TERMOS DAN MUG KERAMIK



Termos dan mug keramik memiliki fungsi mendasar yang sama, yakni perabot minum. Semua orang setuju tentang itu. Tapi, secara teknis mereka difungsikan dengan cara kerja yang berbeda, sesuai dengan komponen-komponen yang menyusun keduanya.
Termos, dengan komponen penyusun yang kurang lebih terdiri dari logam, yang berfungsi sebagai penjaga suhu minuman, dilapisi oleh bahan isolator, dan ruang hampa yang melingkupi ruang antar keduanya, ia mampu menyimpan dan menjaga kalor di sitem sehingga tidak dilepaskan ke lingkungan. Begitupun udara dingin di lingkungan, tidak akan mempengaruhi suhu sistem. Sama jika yang terjadi; dingin di dalam, panas di luar. Keduanya tidak akan saling mempengaruhi. Cara yang cukup simpel untuk mencegah perpindahan kalor. Hingga kau akan dapatkan segelas air hangat atau teh kesukaanmu tanpa kau perlu kepanasan memegangi tubuh termos.
Berbeda dengan mug keramik, ia tidak di desain untuk menyembunyikan panas di dalam seperti halnya termos. Dengan keramik yang menjadi bahan dasarnya, ia justru mneghantarkan panas secara sempurna. Sehingga tanganmu akan merasa hangat ketika kau menggenggamnya.
Sebagai orang yang suka mengait-kaitkan satu dua hal dengan realita, saya berpikir bahwa termos dan mug keramik tersebut analog dengan kepribadian manusia. Dan dalam konteks ini, saya persempit saja, manusia yang dimaksud adalah saya dan Anda.
Sepakati saja, panas kita analogikan sebagai...hmmmm... semacam

Minggu, 01 Mei 2011

Iriyanti (2)

Lagi-lagi Iriyanti
kutepuk dahiku menyadari begitu banyak 'Iriyanti' di Bumi ini
Iriyanti Hartati
Iriyanti Cantika
Iriyanti Cendekia
Iriyanti Jabatani
atau yang lebih keren, Lucky Iriyanti
semakin sesak saja dong, dunia ini

ah, seandainya kita semua bukan siapa-siapa
--wah, memangnya kita ini siapa?--
lebih tepatnya, seandainya kita semua sadar
bahwa kita bukan siapa-siapa
bahwa kita hanyalah siapa yang seharusnya tidak repot memikirkan
kenaasan atau keberuntungan siapa-siapa yang lain
karena kita hidup
sejatinya bukan oleh, karena, apalagi untuk siapa-siapa yang lain itu

Tangsel, 1 Mei 2011

Iriyanti


Iriyanti,
kenapa pula namamu ‘Iriyanti’?
seolah watak burukmu diaminkan kedua orang tuamu
tidak dulu tidak sekarang
masalah-masalahmu selalu saja sama
berkutat dalam apa yang kaumiliki dan yang tidak kaumiliki
apa yang orang lain miliki dan yang tidak
padahal dunia sudah terlalu sesak
kenapa juga orang sepertimu menambah sesak?
wah, maaf terlalu blak-blakan
kalau boleh berbagi
orang bijak mengibaratkan hidup manusia seperti ini;
“Kehidupan ibarat matahari. tenggelam di satu wilayah, terbit di wilayah lain.”
jika mataharimu tengah tenggelam di satu bagian Bumimu
sehingga tiba-tiba saja duniamu menjadi malam
lihatlah,
kau masih punya sinar
karena matahrimu terbit di bagian Bumimu yang lain
hanya saja kau BELUM melihat
Iriyanti,
dengan apa aku harus memanggilmu?
supaya aku tidak ikut mendoakan keburukan buatmu
Iriyanti, oh, Iriyanti
semoga Tuhan menelagakan hatimu. Amin



Tangsel, 1 Mei 2011

Minggu, 17 April 2011

Ingkar, Pergi, Luka, dan Seorang Penghibur

Seorang bocah duduk terpekur menekuk lututnya. Wajahnya lusuh dan kuyu. Kulitnya pucat sepucat kulit sesosok tubuh yang ada dihadapannya. Tubuhnya pun dingin, sama, sedingin tubuh mayat itu. Matanya mati. Tidak menyala seperti biasa. Ia tahu. Meski ia masih berusia 14 tahun. Meski ia belum dewasa. Ia akan menjadi santapan lezat bagi predator-predator ganas di sekitarnya.

Ia tidak mengerti kenapa kakaknya yang begitu kuat bisa mati seperti ini. Ia tidak engerti kenapa ia hanya bersama kakaknya. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya selalu pergi bekerja malam hari dan pulang pagi hari. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya tidak pernah menceritakan kisah-kisah bahagia tentang pekerjaannya. Ia tidak tahu kenapa kakaknya selalu melarangnya keluar dari kamar setiap kali seorang pria yang tak dikenalnya datang ke rumah dan bermesraan

Sabtu, 26 Maret 2011

Pembicaraan di Lapangan Bola


                Kau ingat saat aku mengajakmu bicara, kawan?
                Siang itu matahari tak malu-malu menampakkan dirinya, seolah menantang setiap orang yang berjalan santai di luar ruangan tanpa pendingin. Langitnya berwarna biru muda lengkap dengan awan cumolo-nimbus yang terlukis indah di sana. Angin pun mendukung pemandangan indah itu dengan berhembus sepoi-sepoi, tidak kencang , namun tetap ada.
                Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, hari dimana sekolah kita terasa begitu lenggang-karena pelajaran-pelajarannya yang tidak terlampau berat. Tapi, hari itu, aku harus melaksanakan ujian susulan matematika. Aku pun membawa buku matematika ke kelas, walaupun hari itu tidak ada pelajaran matematika. Mencoba membaca-baca, meski aku tahu matematika tidak cukup hanya dengan dibaca, namun juga berlatih. Tapi, entahlah, rasanya untuk memegang pulpen saja aku malas, apalagi menulis!

Di Malam Itu


Angin berhembus pelan sore itu menerpa dedaunan di pohon-pohon dengan lembut. Langit mulai mengoranye lengkap dengan semburat mega merah yang terlukis rapih di atas sana. Sempurna indah- seolah sengaja menunjukkan kebesaran Yang Maha Kuasa atas segala kemampuannya dalam mengatur segala sesuatu yang ada di alam ini.
                Tepi sungai kembali lenggang. Para penduduk kampung sudah mulai kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan aktivitas lain selain mencuci di  pinggiran sungai atau memandikan anak-anak mereka. Lampu-lampu di depan rumah sudah mulai menyala satu per satu. Para bapak-bapak pun mulai mengayuh sepedanya, pulang ke rumah usai seharian berladang. Anak-anak berlarian pulang ke rumah, berusaha untuk tidak dimarahi oleh orang tua mereka karena pulang terlalu sore.

Rabu, 23 Maret 2011

Namanya Prihatin

“Cut!” pria berbaju hitam itu mengomando, tepat setelah Natalie si pembawa acara berkata, “Pemirsa, tetaplah bersama kami, karena kami akan segera kembali setelah pariwara berikut ini.” Seketika studio utama yang tadinya senyap itu menjadi ramai oleh macam-macam suara. Seorang kameraman tertawa cekikian melihat aksi konyol kawannya, pria berbaju hitam tadi terlihat tengah bercakap-cakap dengan seorang pria berjas, bertampang Indo, beberapa orang naik turun panggung, para pemirsa di kursi penonton pun sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedangkan dia, gadis itu, diam tak beranjak dari sofa merah di panggung utama, tempat kamera-kamera itu selalu mengarah.
“Jadi, setelah kejadian ini, kamu sibuk apa?” Natalie memulai percakapan.

Kenapa Anak Kecil Suka Main Kejar-Kejaran?

Akhir-akhir ini, masjid MAN Insan Cendekia menjadi ramai oleh celoteh dan teriakan anak-anak. Lebih spesifik, masjid MAN Insan Cendekia pada waktu maghrib. Sebelum adzan berkumandang, anak-anak itu sudah datang berkawanan dengan sepeda mininya masing-masing (gank motor "Gowes" kata jurnalazi ed. Februari 2011). Jumlahnya sekitar sepuluh anak. Mereka adalah anak-anak para guru MAN Insan Cendekia. Seperti anak-anak BAIK pada umumnya, mereka datang ke masjid untuk belajar mengaji bersama para pengajar dari kalangan siswa sendiri. Namun, ya namanya juga anak-anak, alih-alih belajar mengaji, mereka malah membuat keributan di masjid.

Senin, 28 Februari 2011

Ketika Aku Membenci Ibu

Ini hanya cerita lama. Cerita yang mungkin menurut sebagian besar orang tidak menarik.Tapi, biarkanlah aku menceritakannya padamu, biar hati ini lega karena telah mengungkapkannya-apa yang selama ini selalu kutahan dan kusimpan dalam-dalam.
Sore itu, angin berhembus pelan, masuk perlahan melalui celah jendela kamarku yang terbuka sedikit.Semburat merah masih mengawang di langit sore yang meninggalkan kesan damai dalam hati.Aku terdiam.Menarik nafas panjang. Hhhhhhhhhhhhh… teringat akan Ibu yang sedang menjalani operasi di rumah sakit. Mataku memerah.Panas.Menghela nafas lagi.Mulutku komat-kamit, berdo’a bagi keselamatan Ibu.
Padahal, baru saja, tidak lama kok…

Sabtu, 29 Januari 2011

Langit Senja Itu

Kesibukan senja kembali terulang. Dedaunan liar pinggiran rel menari-nari. Tergelitik oleh kibasan angin yang menyertai derak laju gerbong-gerbong tua, melesat membunuh waktu. Dilatari semburat senja yang tumpah di lengkung cakrawala.

Kawanan burung gereja telah sampai pada waktu pulangnya, bergerombol menembus awan yang bermetafor menjadi kawanan kapas berwarna-warni, lengkap dengan cita rasa manis dan lembut yang muncul di benak. Berarak. Hingga satu persatu dari mereka bersemu merah, seolah tersipu oleh ratusan pasang mata yang tengah takjub menatapnya dari balik jendela-jendela kereta. Sedang matahari menunaikan janjinya kepada Tuhan untuk hadir tepat waktu di belahan Bumi lain yang telah menantikan sinarnya untuk sebuah kehidupan.

Sabtu, 15 Januari 2011

Bakso 8000

“Jadi, dari mana kita mulai?”
Selalu kamu mulai pembicaraan kita seperti itu. Tidak salah. Karena setiap aku memintamu untuk datang, aku memang selalu ingin mengungkapkan sesuatu padamu.
“Ngga tahu,” jawabku cepat. Kamu terkekeh. Baru sekali ini aku tidak tahu apa yang ingin aku bicarakan padamu. Hanya ingin bertemu. Tanpa tahu harus bicara apa.
“Jangan bercanda!” kamu masih tertawa. Tidak percaya.
Aku mengangguk, ikut tertawa. Tertawa bersamamu memang terasa sangat berbeda. Ada sesuatu yang membuatku bisa terus tertawa asal saat itu kamu juga tertawa.