Rabu, 23 Maret 2011

Namanya Prihatin

“Cut!” pria berbaju hitam itu mengomando, tepat setelah Natalie si pembawa acara berkata, “Pemirsa, tetaplah bersama kami, karena kami akan segera kembali setelah pariwara berikut ini.” Seketika studio utama yang tadinya senyap itu menjadi ramai oleh macam-macam suara. Seorang kameraman tertawa cekikian melihat aksi konyol kawannya, pria berbaju hitam tadi terlihat tengah bercakap-cakap dengan seorang pria berjas, bertampang Indo, beberapa orang naik turun panggung, para pemirsa di kursi penonton pun sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedangkan dia, gadis itu, diam tak beranjak dari sofa merah di panggung utama, tempat kamera-kamera itu selalu mengarah.
“Jadi, setelah kejadian ini, kamu sibuk apa?” Natalie memulai percakapan.
Hitung-hitung berbasa-basi sambil menunggu komando dari pria berbaju hitam tadi.
“Hm, biasa saja. Maksudnya, ya tidak sibuk ngapa-ngapain, Mbak.” jawabnya polos.
“Ada rencana mau lanjut sekolah begitu?”
Gadis itu diam sejenak. Kata “sekolah” membuat pikirannya berasosiasi pada sebuah ruangan bercat putih merah, senada dengan seragam murid-muridnya, dengan papan tulis hitam di depan, kursi dan bangku kayu, buku pelajaran bekas, teman-teman, guru-guru.
“Ah, terakhir saya sekolah waktu seragam masih putih merah, Mbak.” jawab gadis itu sambil nyengir. Polos sekali. Membuat Natalie tertawa.
“Sekarang tinggal di keluarga atau….”
Sekali lagi gadis itu diam sejenak. Kata “keluarga” sudah lama sekali tidak ia dengar. Seumur hidupnya gadis itu tidak pernah ingat bahwa ia memiliki keluarga. Barangkali terkecuali keluarga tuannya di Arab dulu.
“Hm, saya sementara tinggal di rumah Ibu Gubernur. Saya ndak ada keluarga.” Natalie hanya mengangguk sambil bergumam “Oh” pelan. Pembicaraan pun terhenti karena pria berbaju hitam tadi kembali berteriak
“Satu menit!” Kontan semua orang di studio utama itu langsung bersiap pada posisinya masing-masing.
“Tiga puluh detik!”
“Sepuluh!” Natalie menata rambut dan memperbaiki posisi duduknya. Studio utama itu senyap kembali. Gadis itu tak sesiap apa-apa selain mungkin cerita tentang mimpi buruk yang dialaminya bertahun-tahun.
“Action!”
Lampu sorot dinyalakan, musik pengiring dimainkan, dengan komando satu orang, seluruh tangan penonton pun bertepuk riuh.
“Ya pemirsa IndoTV, masih dalam acara Bincang-Bincang bersama saya, Natalie Purbi. Pada sesi kali ini, sesuai dengan janji saya, kita akan mendengar langsung kesaksian dari seorang Tenaga Kerja Wanita Indonesia berumur 18 tahun yang menerima perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Mbak Prihatin,” wajah Natalie kemudian beralih menatap gadis itu, “bisa Mbak ceritakan kepada pemirsa seluk beluk atau kronologi kejadian yang menimpa Mbak?”
“Tapi sekali lagi Mbak, ini bukan paksaan, apabila ini sekiranya akan menyakitkan untuk Mbak, Mbak boleh tidak cerita.”
Mata Natalie yang jernih menatap mata si gadis. Jauh ke dalam. Agaknya ia ingin menyampaikan empatinya yang besar terhadap apa yang akan segera diungkapkan oleh si gadis. Yang ditatap masih bergeming. Sungguh pikirannya bergejolak. Jantungnya berdebar kencang. Sesuatu seperti baru saja membuncah di hatinya. Sesuatu seperti rasa sakit, trauma, kesedihan, dan ketakutan. Semuanya seperti terkuak lagi. Dua pasang mata itu masih bersitatap. Natalie dengan tatapan menanti dan berharap, si gadis dengan tatapan yang berganti-ganti, takut, marah, trauma. Si gadis merasakan betul betapa semua mata tertuju padanya. Semua mata di studio utama itu, bahkan mungkin di seluruh kota, di setiap rumah yang bertelevisi.
“Mbak Prihatin,” Natalie mengusap-usap pundak gadis itu.
“Mbak Prihatin, tidak apa-apa. Kami tidak memaksa, kalau Mbak….”
“Baiklah.” Si gadis tiba-tiba berujar. Dihirupnya udara sedalam-dalamnya. Sedalam kenangan buruk yang telah berusaha ia kubur namun harus kembali digali lagi sekarang. Tatapan Natalie berubah berbinar. Orang-orang di studio utama itu membetulkan posisi duduknya. Semuanya bersiap. Seperti menanti kisah paling tragis sepanjang sejarah. Sekali lagi, ia menarik napas.
“Nama saya Prihatin. Umur saya 18 tahun. Saya berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi TKW, dua tahun yang lalu.”
Dan cerita pun terus mengalir. Deras sederas air matanya.
Dua tahun lalu ia tiba di bandara Jeddah bersama puluhan pria dan wanita asal Indonesia lainnya. Agen yang mengurus keberangkatan mereka menjanjikan kehidupan yang lebih layak di tanah tandus Arab Saudi.
Di antara TKW lainnya, dia terbilang paling muda. Tak heran bila ia dipilih cepat oleh majikan. Sebelum ia dibawa ke “rumah baru”nya, agen yang mengurus keberangkatannya—belakangan ia tahu bahwa agen tersebut tidak resmi dan tidak berbadan hukum—memberikan beberapa lembar kertas. Satu lembar berisi identitas majikannya, dan yang lainnya berisi kosakata sehari-hari bahasa Arab. Setelah meyelesaikan semua urusan administrasi, ia langsung di bawah ke sebuah rumah. Rumah barunya.
Cerita-cerita TKW yang sudah-sudah kadang membuatnya takut. Majikan yang galak dan kasar menjadi momok yang tak henti menghantuinya. Tapi ia selalu mencoba berpikir positif dan percaya bahwa ia akan baik-baik saja. Berbekal keyakinan itulah ia pergi meninggalkan negara “tercintanya” Indonesia. Menjadi satu dari sejuta wajah yang mengiba di negeri orang.
Sayyid Al-Qassam. Begitulah ia harus memanggil nama majikannya. Menurut “kamus” yang diberikan oleh agennya, “Sayyid” berarti “Tuan.” Tuan Al-Qassam, dalam bahasanya. Sayyid Al-Qassam pada awalnya terlihat seperti majikan baik-baik, begitu juga keluarganya. Istrinya bernama Zainab, Sayyidah Zainab tepatnya. Mereka dikaruniai empat orang anak yang masih kecil-kecil. Ahmad, Husen, Hasan, dan Ibrahim. Sejak hari Jum'at, 26 Februari 2009, ia resmi menjadi anggota baru di rumah keluarga besar itu.
Hari pertama ia bekerja berjalan dengan lancar. Sayyidah Zainab menjelaskan padanya apa-apa yang harus dilakukan sebagai seorang pembantu semata wayang. Sesekali ia mengernyitkan kening tanda tak mengerti. Kalau sudah begitu, Sayyidah Zainab terpaksa harus menjelaskan kembali padanya lebih pelan, bahkan seringkali ditambah dengan bahasa tubuh. Satu kali si gadis tertawa melihat bagaimana Nyonya-nya mempraktekkan tata cara menyeboki anaknya.
Menyiapkan sarapan, membersihkan kamar, memberi makan kucing peliharaan, menyapu, mencuci, adalah beberapa pekerjaan yang harus dilakukannya sejak pagi hingga malam. Si gadis berdoa semoga ia ingat semua yang dijelaskan tuannya.
Satu minggu berlalu. Semuanya masih berjalan dengan baik. Walau satu dua kali kena marah, menurut Sayyidah, ia termasuk pembantu Indonesia yang pintar dibanding pembantu-pembantu yang sebelumnya. Si gadis hanya berharap semoga keadaan itu berlangsung selamanya. Hingga ia tak perlu bernasib sama dengan pembantu-pembantu yang keluar masuk televisi, foto-fotonya di cetak di koran, diberitakan dimana-mana dengan cerita yang sama; TKW yang dianiaya.
Satu bulan sudah ia menjalani kehidupan barunya di negeri minyak itu. Kulitnya sudah terbiasa dengan cuaca padang pasir yang ekstrem, siang yang panasnya menyengat, malam yang dinginnya menggigil. Ia pun sudah semakin terampil mengerjakan tugas rumahnya. Ia mendapat gaji pertamanya, 1200 riyal, setara dengan Rp. 3.000.000,00 di negaranya. Angka yang cukup menggiurkan bagi kaum pinggiran seperti dirinya. Mendapati kondisinya yang terbilang baik itu, ia pun mulai tidak percaya pada cerita-cerita kebanyakan orang tentang penyiksaan pembantu oleh majikannya.
Namun dunia begitu mudah berbalik. Roda kehidupan berputar cepat. Nasib baik pun berganti menjadi nasib yang kurang baik—untuk tidak menyebut buruk. Suasana tentram tiba-tiba berubah menjadi suasana mencekam. Sama dengan karakter orang Arab yang tempramen, mudah berubah-ubah emosinya.
Berawal dari kesalahannya ketika menyetrika gamis sutra milik Sayyid Al-Qassam. Mendapati gamis kecintaannya gosong, Sayyid Al-Qassam langsung memaki-maki si gadis dengan kata-kata yang tidak dimengertinya. Awalnya si gadis menganggap itu sebagai marah yang biasa. Paling-paling gajinya tiga bulan kedepan dipotong sebagai konsekuensinya. Tapi ia salah. Sore harinya, Sayyidah Zainab memanggilnya ke ruang pakaian dengan nada tinggi, tak pernah si gadis mendengar Nyonya-nya berteriak sekeras itu. Firasat si gadis mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Dan benarlah, sesuai dugaan, Sayyidah Zainab sudah siap dengan setrika panas di tangannya sambil berkacak pinggang. Si gadis pun dihujani makian dan umpatan. Lebih dahsyat dari amukan Sayyid Al-Qassam. Dan cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. Tangan kanannya melepuh. Ia hanya berteriak minta ampun dan meratap dengan bahasa-bahasa yang ia bisa.
Bulan-bulan berikutnya si gadis sempurna menjadi objek penyiksaan. Dicambuk, disilet, disetrika, hingga digunduli. Ia benar-benar diperlakukan seperti hewan ternak. Salah sedikit, ancamannya adalah nyawa.
Hari-hari yang semakin buruk membuatnya berinisiatif untuk meminta tolong pada agen yang dulu membantunya sampai ke rumah itu. Tapi nihil. Nomor telepon yang diberikan agen tidak pernah ada. Tidak pernah bisa dihubungi. Saat itu ia pun sadar bahwa ia mendaftar pada agen yang salah.
Dua tahun berlalu. Dua tahun yang penuh dengan penyiksaan. Ia tak pernah lagi berani menatap cermin. Keluar rumah pun apabila terpaksa saja. Tubuh remajanya tidak lagi bisa dibanggakan. Cacat di sana-sini. Namun ia tidak pernah lagi mencoba meminta tolong. Ia tidak berani melapor polisi atau berobat ke rumah sakit sejak ia mendengar nasib pembantu di rumah blok lain yang diseret di atas bara api karena ketahuan menelepon polisi.
Sampai tibalah hari ketika akhirnya si gadis diberi kekuatan untuk menyelamatkan diri.
Hari itu hari minggu, lagi-lagi ia melakukan kesalahan fatal. Awalnya ia mengira semuanya akan berujung seperti biasanya. Satu hari tanpa makan, dicambuk, atau semacamnya. Tapi pada hari itu Sayyid Al-Qassam pulang dengan membawa dua ekor anjing. Warnanya hitam, tubuhnya besar, matanya merah, mulutnya tak henti mengeluarkan liur. Firasatnya semakin tidak enak ketika Sayyid Al-Qassam memasukkan dua ekor hewan bertaring itu ke kamar tidur si gadis.
Ia pun spontan memikirkan cara untuk melarikan diri. Ya, ia benar-benar harus pergi dari rumah neraka itu hari itu juga. Sebelum dua hewan rabies itu mencabik-cabik tubuhnya. Beruntunglah si gadis. Sore itu, Sayyid Al-Qassam lupa mengunci pintu rumah dan pintu pagar. Dan ketika semua penghuni di rumah itu melaksanakan shalat Ashar berjama'ah. Ia pun mulai bergerak memanfaatkan kesempatan yang ada. Dengan mengendap-endap, si gadis pun berhasil menyelamatkan diri ke luar rumah. Dan ketika sampai di pagar, ia lari sekencang yang ia bisa. Tidak peduli perutnya yang berteriak meminta diisi, tidak peduli terik matahari sore itu, dan tidak peduli kemana kakinya akan menuju. Ia hanya berdoa semoga Tuhan selalu bersamanya.
Dan sungguh Tuhan selalu bersama dengan orang-orang yang terzalimi. Nasib baik kemudian mengantar si gadis pada sebuah rumah seorang mahasiswi Indonesia. Ita namanya. Dengan bantuan Ita dan suaminyalah ia akhirnya berhasil mendapatkan tiket pulang ke Indonesia. Ia pun tiba di tanah airnya dengan selamat.
Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan penuh cahaya itu. Studio utama IndoTV sesaat menjadi lautan haru biru. Si gadis kembali terdiam. Air matanya berhenti mengalir tepat setelah ia menyelesaikan apa yang Natalie bilang sebagai cerita tragis. Natalie terlihat mengusap ujung matanya. Matanya sembab. Sedang si gadis tidak kurang sembab darinya.Ia kemudian menarik napas panjang. Dan baru ia sadar bahwa ia tidak pernah menarik napas sepanjang dan selega itu. Seakan-akan seluruh deritanya selama dua tahun menjadi TKW di Arab Saudi terbawa serta oleh hembusan napasnya.
Tepuk tangan belum berhenti. Si gadis kembali pada kesadaran bahwa hidupnya belum selesai. Setidaknya masih ada hari ini. Hari ketika ia mendadak menjadi artis. Tampil di layar kaca, diberitakan di mana-mana, diwawancarai banyak wartawan, didatangi banyak orang dari berbagai kalangan. Bahkan Ibu Presiden pun mendatanginya sebagai wujud simpati.
Begitulah si gadis. Namanya Prihatin, umurnya baru 18 tahun. Satu minggu yang lalu seharusnya ia mati dicabik-cabik anjing rabies. Namun kini, ia berada di sini. Duduk dari satu kursi ke kursi lain. Dari satu kamera ke kamera lain. Ditepuktangani, bahkan ditangisi.
Namanya Prihatin. Hidupnya memang memprihatinkan. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi pembantu, sekalipun di negeri orang. Sekalipun digaji dengan berjuta-juta. Namun ia juga tahu diri bahwa orang tak terdidik seperti dirinya tidak bisa menjadi “orang.”Orang miskin seperti dirinya memang susah untuk dilirik. Orang miskin seperti dirinya memang harus mengalami penderitaan biadab baru kemudian boleh dikunjungi Presiden. Betapa nista.
Namanya Prihatin. Ia bukan yang pertama, bukan pula satu-satunya. Ia hanyalah satu dari Prihatin-Prihatin lain yang mencoba menjadi “pahlawan” di negeri orang, meskipun mereka sebenarnya tahu bahwa rumput tetangga tidak selalu lebih baik daripada rumput sendiri.
Sekali lagi, namanya adalah Prihatin. Dan sekali lagi, hidupnya memang memprihatinkan. Ia tidak pernah tahu, apakah hari esok masih ada untuknya? Ia tak pernah tahu adakah hari esok makmur sentosa bagi ia dan orang-orang sepertinya? Orang-orang yang mengiba di negeri tetangga.
Dan untuk yang terakhir kalinya, ingatlah, namanya Prihatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar