Sabtu, 26 Maret 2011

Pembicaraan di Lapangan Bola


                Kau ingat saat aku mengajakmu bicara, kawan?
                Siang itu matahari tak malu-malu menampakkan dirinya, seolah menantang setiap orang yang berjalan santai di luar ruangan tanpa pendingin. Langitnya berwarna biru muda lengkap dengan awan cumolo-nimbus yang terlukis indah di sana. Angin pun mendukung pemandangan indah itu dengan berhembus sepoi-sepoi, tidak kencang , namun tetap ada.
                Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, hari dimana sekolah kita terasa begitu lenggang-karena pelajaran-pelajarannya yang tidak terlampau berat. Tapi, hari itu, aku harus melaksanakan ujian susulan matematika. Aku pun membawa buku matematika ke kelas, walaupun hari itu tidak ada pelajaran matematika. Mencoba membaca-baca, meski aku tahu matematika tidak cukup hanya dengan dibaca, namun juga berlatih. Tapi, entahlah, rasanya untuk memegang pulpen saja aku malas, apalagi menulis!

Di Malam Itu


Angin berhembus pelan sore itu menerpa dedaunan di pohon-pohon dengan lembut. Langit mulai mengoranye lengkap dengan semburat mega merah yang terlukis rapih di atas sana. Sempurna indah- seolah sengaja menunjukkan kebesaran Yang Maha Kuasa atas segala kemampuannya dalam mengatur segala sesuatu yang ada di alam ini.
                Tepi sungai kembali lenggang. Para penduduk kampung sudah mulai kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan aktivitas lain selain mencuci di  pinggiran sungai atau memandikan anak-anak mereka. Lampu-lampu di depan rumah sudah mulai menyala satu per satu. Para bapak-bapak pun mulai mengayuh sepedanya, pulang ke rumah usai seharian berladang. Anak-anak berlarian pulang ke rumah, berusaha untuk tidak dimarahi oleh orang tua mereka karena pulang terlalu sore.

Rabu, 23 Maret 2011

Namanya Prihatin

“Cut!” pria berbaju hitam itu mengomando, tepat setelah Natalie si pembawa acara berkata, “Pemirsa, tetaplah bersama kami, karena kami akan segera kembali setelah pariwara berikut ini.” Seketika studio utama yang tadinya senyap itu menjadi ramai oleh macam-macam suara. Seorang kameraman tertawa cekikian melihat aksi konyol kawannya, pria berbaju hitam tadi terlihat tengah bercakap-cakap dengan seorang pria berjas, bertampang Indo, beberapa orang naik turun panggung, para pemirsa di kursi penonton pun sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedangkan dia, gadis itu, diam tak beranjak dari sofa merah di panggung utama, tempat kamera-kamera itu selalu mengarah.
“Jadi, setelah kejadian ini, kamu sibuk apa?” Natalie memulai percakapan.

Kenapa Anak Kecil Suka Main Kejar-Kejaran?

Akhir-akhir ini, masjid MAN Insan Cendekia menjadi ramai oleh celoteh dan teriakan anak-anak. Lebih spesifik, masjid MAN Insan Cendekia pada waktu maghrib. Sebelum adzan berkumandang, anak-anak itu sudah datang berkawanan dengan sepeda mininya masing-masing (gank motor "Gowes" kata jurnalazi ed. Februari 2011). Jumlahnya sekitar sepuluh anak. Mereka adalah anak-anak para guru MAN Insan Cendekia. Seperti anak-anak BAIK pada umumnya, mereka datang ke masjid untuk belajar mengaji bersama para pengajar dari kalangan siswa sendiri. Namun, ya namanya juga anak-anak, alih-alih belajar mengaji, mereka malah membuat keributan di masjid.