Sabtu, 26 Maret 2011

Di Malam Itu


Angin berhembus pelan sore itu menerpa dedaunan di pohon-pohon dengan lembut. Langit mulai mengoranye lengkap dengan semburat mega merah yang terlukis rapih di atas sana. Sempurna indah- seolah sengaja menunjukkan kebesaran Yang Maha Kuasa atas segala kemampuannya dalam mengatur segala sesuatu yang ada di alam ini.
                Tepi sungai kembali lenggang. Para penduduk kampung sudah mulai kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan aktivitas lain selain mencuci di  pinggiran sungai atau memandikan anak-anak mereka. Lampu-lampu di depan rumah sudah mulai menyala satu per satu. Para bapak-bapak pun mulai mengayuh sepedanya, pulang ke rumah usai seharian berladang. Anak-anak berlarian pulang ke rumah, berusaha untuk tidak dimarahi oleh orang tua mereka karena pulang terlalu sore.
                Kembali di tepi sungai yang lenggang itu, di sana, di saat penduduk desa kembali pulang bersiap shalat maghrib, bersiap makan malam bersama keluarga, gadis itu justru datang ke sana. Menepi. Duduk. Menyendiri. Cahaya cerlang di matanya sudah sirna, entah sejak kapan. Matanya menerawang jauh. Seolah di ‘jauh’ di sana bermuara segala hal yang ia pikirkan dan ingin katakan. Rambutnya semerawut, tidak disisir, padahal panjang dan tebal. Kulitnya sudah mulai mengusam terutama sejak cahaya di matanya hilang. Bibirnya sesekali tersenyum lebar. Sesekali menggumamkan sesuatu. Sesekali tertawa getir. Sesekali menangis. Sesekali terbahak. Sesekali menjambaki rambutnya yang semerawut itu sembari memanyunkan bibirnya. Sesekali membenturkan kepalanya ke dinding di bawah jembatan sembari berteriak melolong-panjang sekali, laiknya seekor serigala yang melolong di dalam hutan belantara di pinggir desa sana.
                   Semua penduduk desa sudah hapal betul kelakuan gadis itu hingga tak lagi heran melihatnya. Hingga tak lagi heran mendengarnya. Hingga tak lagi mau mencegah si gadis keluar malam-malam untuk melakukan rutinitasnya. Si Saepul, salah seorang pemuda di desa itu dulu pernah mencegahnya keluar, alhasil si Saepul bonyok di sana-sini. Si gadis menamparnya dengan sekuat tenaga, menjambak rambut Saepul yang tidak banyak itu, mencubitnya di pinggang hingga biru-biru, dan terakhir menggigitnya di lengan kanan Saepul yang akhirnya membuat si gadis bisa lari dari cegahan Saepul.
                Sejak hari itu si gadis selalu membawa pisau lipat di saku bajunya. Berjaga-jaga seandainya Saepul atau penduduk desa lainnya mencegahnya untuk pergi ke tepi sungai. Rencana itu sempurna berhasil. Keesokan harinya, si Nanang  yang mencegahnya. Si gadis langsung mengacung-acungkan pisau lipatnya ke langit. Mengancam akan bunuh diri, kalau ia tidak membiarkannya lewat. Si Nanang bingung. Karena desakkan dari penduduk desa yang menonton adegan itu di sore itu, akhirnya Pendi membiarkan si gadis pergi untuk melakukan rutinitasnya. Sejak itu tak ada lagi yang mencegah si gadis pergi.
                ***
Berbulan-bulan lalu, si gadis baru saja pulang dari Ibukota, untuk menuntut ilmu katanya. Dengan segudang impian untuk membangun kampung halamannya yang masih termasuk “terbelakang” di negaranya ia kembali, kira-kira setengah tahun yang lalu, dengan menyandang gelar sarjana teknik yang lulus cumlaude.
                Proyek-proyek yang ia namai “membangun kampung halamanku” mulai ia rancang bersama teman-temannya yang ia bawa dari Ibukota. Membawa internet masuk ke desa adalah program terbesarnya. Program-program lainnya ada memperbaiki irigasi di ladang dan sawah, membangun sekolah dasar yang sudah mau ambruk-hingga tiap kali hujan, sekolah diliburkan, membuat kamar mandi, toilet, dan sistem pembuangan yang baik demi memperbaiki sistem pembuangan limbah rumah tangga yang buruk di desa-yang ujungnya mengalir ke satu sungai-yang airnya dipakai untuk berbagai macam aktivitas rumah tangga.
                Bersama kawan-kawannya ia berkeliling ke rumah kepala desa, ke kantor kecamatan, ke kantor kabupaten, dan ibukota  untuk meminta surat izin dan mengurus administrasi lain-lainnya. Tiga bulan pertama di desa, ia gunakan untuk bolak-balik ibukota-desa guna mencari dana serta dukungan dari berbagai pihak untuk pembangunan desanya. Tiga bulan berikutnya, ia mulai menjalankan proyeknya.
                Sibuk memberikan penyuluhan ke warga desa tentang sistem pembuangan yang baik, tentang sistem pengairan yang baru, tentang cara menggunakan internet. Sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang kampung yang masih awam dengan hal-hal tersebut. Sibuk berkeliling desa untuk mengecek jalannya proyek. Dan sibuk-sibuk lainnya.
                Hingga si gadis tak sempat memperhatikan bahwa selalu ada yang mengikutinya dalam setiap kesibukannya ke kantor kecamatan, dalam setiap kesibukannya ke ibukota, dalam stiap kesibukannya berkeliling desa dan memberi pemahaman kepada warga desa. Dialah Pendi, teman si gadis sejak kecil. Si remaja masjid yang aktif dalam pengurusan masjid. Yang paling sibuk jika ada acara-acara PHBI-Peringatan Hari Besar Islam, seperti mauludan dan lain sebagainya. Yang selalu mengumandangkan adzan ketika waktu shalat tiba. Yang selalu membangunkan orang-orang untuk sahur lewat speaker masjid ketika Ramadhan tiba. Dan yang selalu mencintai si gadis sejak kecilnya, bahkan merana ketika si gadis memutuskan untuk belajar ke ibukota.
                Pendi tak pernah mengungkapkan perasaannya dengan jelas pada si gadis-terutama karena lingkungannya yang masih menganggap bahwa seorang gadis dan seorang bujang berdua-duaan tanpa ada ikatan yang sah adalah sesuatu hal yang tabu. Lagipula statusnya sebagai remaja masjid yang diandalkan warga desa untuk menggantikan Pak Kiai, sesepuh desa, masih melekat kuat dalam dirinya. Setengah mati Pendi menahan perasaannya. Namun, semakin ia tahan, perasaan itu semakin tak terbendung. Semakin ia tahan, persaan itu semakin mendesak untuk dikeluarkan. Semakin ia tahan, perasaan itu semakin membuatnya ingin berkata bahwa ia selalu mencintai si gadis, bahkan setelah si gadis pulang dari ibukota dan sibuk dengan proyeknya.
                Pendi berusaha membantu proyek-proyek si gadis sekuat tenaga. Meninggalkan tugasnya untuk mengumandangkan adzan demi mengecek jalannya proyek-proyek si gadis. Meninggalkan tugasnya mengurus kotak infak masjid demi ikut si gadis ke ibukota, mencari dana dan dukungan proyek pembangunan desanya.
                Padahal, jika saja si Pendi tahu, bahkan,tidak  sedetik pun si gadis menoleh padanya. Bahkan tidak sedetik pun si gadis peduli lagi padanya sebagai ‘teman kecil’nya.  Bahkan tak sedetik pun si gadis ingat tentang si Pendi-yang selalu bersamanya waktu kecil, yang mengenalkan pada si gadis tentang kehidupan di luar desa. Dia Pendi. Tapi si gadis sudah melupakannya. Bahkan hanya menganggapnya sebagai ‘salah seorang warga desa yang tidak tahu apa-apa tentang teknik’.
                Rupanya, pandangan si gadis telah berubah. Berputar tiga ratus enam puluh derajat. Semua orang yang menurutnya bisa berkuliah di universitas bagus dipandangnya dengan derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang lulus SMA saja tidak, seperti si Pendi. Bahkan, katanya, belakangan si gadis menghina beberapa warga desa yang bekerja sebagai salah satu kuli dalam proyeknya. Ia berucap kata-kata tabu. Bahkan dengan orang-orang yang usianya terpaut jauh di atasnya.
                Wallahu’alam, apa yang dapat merubah sifatnya sebegitu drastisnya. Si gadis yang dulunya adalah gadis yang lugu. Si gadis yang suka tersenyum malu-malu ketika diberi sekeping cokelat emas dua ratusan. Si gadis yang bahkan berbicara dengan orang lain saja harus diwakilkan oleh Pendi, kini ia dengan pongahnya berdiri di depan balai desa, berbicara ini itu dengan istilah setinggi langit. Beberapa kali membuat kesal warga. Beberapa kali membuat bungkam pak Kades dengan segala uang yang dimilikinya. Dia si gadis.
                HHhhhh...Pendi termenung malam itu di saung ronda. Hari ini gilirannya berjaga ronda. Pendi sudah stand by  di saung ronda, meski ronda malam baru dimulai pukul sembilan nanti malam, sementara ini, pukul delapan saja belum sampai. Tapi, Pendi ingin menyendiri. Sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa di masjid-Pendi sejak ia baligh tidak pernah tidur di rumah, ia terlalu menyukai masjid sebagai tempat tinggalnya, karenanya ia ikhlas untuk mengurus masjid. Membersihkan masjid seketika masjid kotor ketika hujan deras datang. Menghitung uang infak Jum’at dan menjaganya. Menghukum anak-anak kecil yang dengan segala keisengannya membongkar kotak infak masjid yang terletak tepat di depan pintu masuk masjid.  Hingga mengumumkan pengumuman-pengumuman dari speaker masjid.
                Kembali ke Pendi yang masih termenung di saung ronda. Sarung hijau kombinasi hitam kotak-kotak terselempang di bahu kirinya. Di sampingnya senter berukuran besar serta setremos kopi untuk menemani  ronda malam ini telah tersedia lengkap dengan sedikit goreng  pisang untuk porsi dua orang. Sebenarnya malam ini Pendi tidak meronda sendirian, tapi bersama Saepul, anak Pak Dadang, si tukang sayur. Tapi, sore tadi, Pak Dadang datang menghampiri Pendi dan berkata bahwa Saepul sakit, masuk angin katanya. Lengkaplah kesendirian Pendi hari ini. Jika saja tadi Saepul datang, ia sudah berniat bercerita banyak tentang si gadis pujaan hatinya itu. Tapi, berhubung Saepul tidak datang, jadilah ia termenung sendirian sembari memikirkan segudang pernyataan untuk mengungkapkan cintanya pada si gadis.
                Malam yang menemani Pendi meronda mulai sunyi. Hanya orkestra jangkrik  yang masih setia  menemani Pendi berkeliling kampung sembari membawa senternya. Angin bertiup cukup kencang malam itu, membuat Pendi semakin merapatkan jaket dan sarungnya menutupi seluruh badannya yang mulai menggigil.  Sesekali lenguhan burung hantu yang masih bertengger di pohon bringin depan masjid kampung terdengar lantang. Semakin malam, anjing-anjing kampung semakin lantang menggonggong seolah melindungi hak miliknya masing-masing.
                Pendi terus berjalan sambil tiap jamnya memukul tiang listrik seolah memberitahukan jam melalui pukulannya.  Tiba-tiba ia terhenti begitu sampai di penghujung kampung, tepat di depan pintu gerbang kampung. Hatinya memanas melihat adegan yang ada di depan matanya. Adrenalinnya terpacu. Jantungnya berdebar kencang. Kadar emosi dalam dirinya melonjak naik.  Tangannya mengepal kuat hendak memukul kejadian yang berada tepat di depan batang hidungnya. Giginya gemerutuk menahan amarah. Dan seketika itu juga kekecewaan masuk menyusup dalam hatinya. Pendi telah patah hati.
                Apa yang dilihatnya di malam yang sunyi itu adalah dia-si gadis pujaan hatinya. Entah apa yang telah dilakukan si gadis sebelumnya, tapi, wajahnya terlihat merah. Mabok. Dirinya dipapah turun dari oleh seorang laki-laki berbadan besar, berambut pirang, berwajah b ule. Ia-si gadis menciumnya! Tepat di bibir si laki-laki, dan tepat di depan mata Pendi!
Tang! Tang! Tang!
                Pendi marah. Kentungannya beradu pada tiang listrik dekat gerbang kampung. Adrenalinnya memacu matanya untuk melotot lebih lebar. Ia bergegas mendatangi si gadis. Emosinya sudah tak tertahankan lagi. Ia segera menarik tangan si gadis dengan kencang dari pelukan si laki-laki bule dan menyeretnya jauh. Pendi tak peduli dengan kebingungan si laki-laki bule dan tak peduli pula dengan teriakan-teriakan si gadis yang kesakitan dan kebingungan.
                ***
                Masjid pukul 2 dini hari benar-benar lenggang. Pak Kiai sudah lama tidak tinggal di masjid digantikan oleh Pendi sebagai ta’mir masjid yang diklaim akan menggantikan posisi Pak Kiai. Sempurna sudah kelenggangan masjid malam itu.
                Pendi datang masih dengan menyeret si gadis yang dalam keadaan mabok dan bau alkohol. Pendi menariknya ke tempat wudhu putra. Ia menyiramkan segayung air yang ia ambil dari kamar mandi dengan kasar sembari berteriak, “KINASIH! MAU JADI APA KAMU MABOK-MABOKKAN BEGINI! DIPENGARUHI SIAPA KAU HINGGA JADI BEGINI! MESTINYA AKU TIDAK MEMBIARKANMU KE KOTA! KASIHAN MBOKMU, KINASIH!!!!!”
                Pendi terus-terus membentak Kinasih-si gadis pujaan hatinya. Emosinya membuatnya lupa akan larangan menyentuh wanita yang bukan mahramnya.  Sementara, Kinasih yang masih dalam keadaan mabok hanya tertawa-tawa kecil dengan sesekali tersedak. Abai dengan perlakuan Pendi padanya.
                Lelah Pendi membentak Kinasih, ia melempar gayung. Masuk kedalam mihrab Masjid dan membiarkan Kinasih sendirian di tempat wudhu putra tergeletak basah kuyup.  Ia duduk terdiam di dalam mihrab. Memeluk kepalanya dengan kedua tangannya. Menangis parau. Hatinya telah hancur berkeping-keping. Mungkin tak lagi dapat disatukan. Walau dengan perekat yang terbaikpun.
                ***
                Pagi datang masih dengan kesunyiannya. Bahkan ayam pun enggan berkokok pagi ini. Matahari malu-malu menyembul dari balik awan-yang jika dilihat dari jalan seperti muncul dari balik gunung. Kabut mulai turun perlahan diiringi suara tonggeret yang sibuk bersahut-sahutan, seolah ingin memberi tahu bahwa kabut akan turun.
                Tadi, pukul 4 dini hari, Kinasih bangun dari keterlelapannya. Ia kedinginan. Sambil mengumpulkan nyawanya yang masih melayang-layang, ia kembali memutar memorinya semalam ini. Tangannya memijit-mijit kepalanya yang mulai terasa pusing. Ia bangkit dari posisinya. Bingung karena seluruh badannya basah kuyup dan ia tertidur di tempat wudhu.  Masih dengan sempoyongan, Kinasih kembali ke rumahnya.
                Sementara itu, di balik salah satu pintu masjid, Pendi mengawasi setiap gerakan Kinasih dengan hatinya yang telah hancur. Kecewa, patah hati, sedih, kesal...semuanya seolah bercampur menjadi satu! Entah, besok apa yang akan ia katakan ketika bertemu Kinasih. Harus terus terangkah? Atau justru ia meledak-ledak seperti bom waktu yang siap meledak?  
                Ah...Sudahlah Pendi! Pendi mengusap wajahnya dan segera mengambil wudhu untuk mengumandangkan adzan shubuh.  
                ***
                Malam kembali tiba. Sehari ini, Pendi sama sekali tidak keluar dari mihrab masjid. Menghindari setiap pertemuan dengan warga. Usai shalat, langsung saja Pendi masuk ke mihrab, mengunci diri dan tidur.  
Tapi, sepertinya hari ini tidak seperti yang ia harapkan. Nanang mendadak pergi ke Jawa Timur menemui neneknya yang sedang sekarat parah. Dan jadwal ronda hari ini tidak ada yang menggantikan. Entah apa yang membuat langkah Pendi meringan untuk menggantikan Nanang meronda hari ini. Padahal, untuk jalan makan ke warung depan masjid saja, hari ini ia malas sekali.
Lagi-lagi Pendi duduk di saung ronda bersama setermos kopi dan sepiring goreng pisang. Namun, tidak seperti kemarin, mungkin, hari ini ia tidak membutuhkan kopi. Pemikiran tentang Kinasih masih terus-terusan memenuhi setiap sentimeter engramnya-sirkuit syaraf tempat menyimpan memori. Pukul sepuluh tepat, Pendi mulai berjalan mengitari desa. Seperti kemarin dan ronda-ronda sebelumnya, ia mengetukkan kentungannya ke tiang listrik setiap jamnya.
Seperti malam sebelumnya pula, malam ini pun Pendi  terhenti di depan gerbang kampung. Kembali terpana dengan pemandangan yang menari-nari di depan matanya. Kinasih lagi!  Teriaknya dalam hati. Namun kali ini Kinasih tidak dalam keadaan mabok. Ia sadar. Ia tersenyum ke arah lelaki bule yang mengaantarnya pulang malam ini, maupun kemarin malam. Ia memluknya mesra, membuat hati Pendi yang sudah berkeping-keping menjadi lebih kepingan yang lebih kecil lagi.
Kali ini, Pendi tidak memukulkan kentungannya ke tiang, hanya saja ia langsung menyeret lengan si gadis.
“APA SIH MAUMU, PENDI?!” Teriak Kinasih kesal. Pendi diam tak menjawab, sambil terus menariknya. Sementara Kinasih berusaha melepaskan genggaman tangan Pendi. Pendi diam, tidak berkata apa-apa. Giginya gemerutuk-lagi-lagi menahan emosi. Gengggamannya di lengan Kinasih semakin kencang.
“PENDI! SAKIT!” Jerit Kinasih. Kesal dengan jeritan-jeritan Kinasih, Pendi membekap mulut Kinasih. Sementara KInasih terus-terusan kesal dengan sikap Pendi yang asal menarik lengannya, padahal ia sedang bertemu temannya yang tinggal di kota. Sopan sekali si Pendi menarik lenganku dengan kasar! Dasar orang kampong tidak tahu etika! Kinasih membatin dalam hati. Sementara Kinasih berusaha  menjerit, mereka sudah tiba di Masjid. Pendi jalan melewati pagar Masjid dan masuk terus sampai ke mihrab di samping tempat imam biasa mengimami shalat-yang juga merupakan kamarnya sekarang. Langsung saja Pendi melempar Kinasih ke atas karpet yang selama ini menjadi alas tidurnya.
“ADUH! PENDI, KAMU MAU APA SIH?” Kinasih masih menjerit. Ternyata cinta yang sudah tertumpuk dalam hati Pendi membuatnya gelap mata. Dan malam itu, di mihrab Masjid, iblis telah berhasil membujuk Pendi untuk melakukan hal yang tidak senonoh kepada Kinasih-sang harapan desa. Pikiran Pendi kosong. Ia hanya tahu di depannya ada gadis yang ia amat cintai-sekaligus ia amat benci, terutama sejak kejadian kemarin. Dirinya hanya tahu ingin melumat habis tubuh si gadis. Bahkan suara hati nuraninya sudah terlampau kecil-terkalahkan dengan teriakan-teriakan iblis yang bersorak riang karena telah berhasil mempengaruhi Pendi-sang harapan desa.  
***
Pagi itu, adzan shubuh telat berkumandang. Pasalnya, Pendi-si bilal yang biasanya mengumandangkan adzan hilang entah kemana. Di mihrab yang juga sekaligusnya menjadi kamarnya pun ia tidak ada. Di rumah keluarganya yang terletak di ujung desa pun tidak ada. Begitu juga di rumah Pak Kiai. Awalnya, warga desa mengira bahwa Pendi pergi kekota mungkin untuk urusan mendadak.
Namun, hingga esok hari Pendi tidak pulang. Dicari pun tidak ketemu. Yang ditemukan Saepul malah justru tubuh seorang wanita tanpa busana yang tergeletak lemah di penghujung sungai yang berbatasan dengan hutan. Tubuhnya penuh luka, begitu juga wajahnya. Wajah itu-wajah yang semua warga tak lagi asing dengannya. Wajah yang selama enam bulan ini sering berkeliling desa untuk mengecek proyek pembangunannya. Ya! Dia Kinasih.
Kinasih koma untuk tiga hari. Kemudian ia sadar. Tubuhnya kembali sehat, namun akal pikirannya tidak dapat kembali sehat. Akalnya telah hilang. Ide-ide briliaannya juga turut hilang. Yang ia lakukan kini hanya terpekur di penguhujung sungai tempatnya ditemukan. Sambil sesekali tertawa. Sesekali menangis. Sesekali terbahak. Sesekali menjambaki rambutnya yang semerawut itu sembari memanyunkan bibirnya. Sesekali membenturkan kepalanya ke dinding di bawah jembatan sembari berteriak melolong-panjang sekali, laiknya seekor serigala yang melolong di dalam hutan belantara di pinggir desa sana.
Sementara Pendi benar-benar tak pulang. Kasus ini pun menjadi kasus tertutup. Tak ada yang tahu persis kejadian di malam sebelum menghilangnya Pendi dan komanya Kinasih. Tak ada yang tahu persis kronologisnya. Hanya akal sehat Kinasih dan hati nurani Pendi sajalah yang tahu. Namun, kedua hal itu telah pergi seiring perginya malam karena matahari-seolah takut menampakkan dirinya dan akhirnya diketemukan oleh warga desa.
***
“…Ada salah seorang di antara kalian benar-benar melakukan amalan ahli surga, sehingga tidak terdapat batas antara dia dan ajalnya kecuali hanya sehasta. Lalu, telah ditetapkan dalam ketentuan-Nya, sehingga dia mengerjakan amalan ahli neraka, maka dia pun masuk neraka. Dan sesungguhnya, ada salah seorang di antara kalian benar-benar melakukan amalan ahli neraka, sehingga tidak terdapat lagi batas antara keduanya kecuali hanya sehasta. Telah ditetapkan dalam ketentuan-Nya, maka dia pun melakukan amalan ahli surge dan dia pun masuk ke dalamnya.” (H.R. Bukhari)

Serpong, 25 Maret 2011
16.54 WIB
  
  
   

      
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar