Minggu, 17 April 2011

Ingkar, Pergi, Luka, dan Seorang Penghibur

Seorang bocah duduk terpekur menekuk lututnya. Wajahnya lusuh dan kuyu. Kulitnya pucat sepucat kulit sesosok tubuh yang ada dihadapannya. Tubuhnya pun dingin, sama, sedingin tubuh mayat itu. Matanya mati. Tidak menyala seperti biasa. Ia tahu. Meski ia masih berusia 14 tahun. Meski ia belum dewasa. Ia akan menjadi santapan lezat bagi predator-predator ganas di sekitarnya.

Ia tidak mengerti kenapa kakaknya yang begitu kuat bisa mati seperti ini. Ia tidak engerti kenapa ia hanya bersama kakaknya. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya selalu pergi bekerja malam hari dan pulang pagi hari. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya tidak pernah menceritakan kisah-kisah bahagia tentang pekerjaannya. Ia tidak tahu kenapa kakaknya selalu melarangnya keluar dari kamar setiap kali seorang pria yang tak dikenalnya datang ke rumah dan bermesraan
dengan kakaknya. Ia tidak tahu kemana orang tuanya pergi. Ia tidak tahu apa-apa tentang semua ini.

Yang ia tahu, kakaknya adalah seorang pekerja keras, tidak peduli sekeras apapun orang-orang menghinanya. Yang ia tahu, kakaknya adalah seorang waita yang kuat, tidak pernah mengeluh. Yang ia tahu, kakaknya punya banyak sekali teman. Yang ia tahu, kakaknya selalu membawa banyak uang setiap pulang bekerja. Dan dari semua hal yang ia ketahui dari kakaknya, ia pun mengerti. Kakaknya adalah seorang wanita penghibur.

Kalau kakaknya pergi bekerja, ia pasti dititipkannya kepada Mbak Mira, guru megaji adiknya. Kalau kakaknya pergi bekerja, pasti ia akan selalu menunggu kakaknya pulang. Meski ia tertidur, sesungguhnya ia menunggu. Ia akan dengan segera tersadar begitu kakaknya pulang. Lalu dalam perjalanan pulang menuju rumah kecil mereka, kakaknya akan selalu menanyakan apa saja yang tadi ia pelajari di sekolah. Apa saja yang diceritakan Mbak Mira. Dan apakah ada yang mengejeknya dan mengucilkannya lagi.

Meski kakaknya seorang pelacur, kakaknya adalah wanita terbaik yang pernah dikenalnya. Ia tidak akan membiarkan adiknya terluka. Setiap kali ada yang mengejek adiknya, ia akan melawan. Meski ia harus rela dicaci maki lagi. Yang salah adalah dirinya, bukan adiknya. Jadi memang yang semestinya dihina adalah ia. Bukan adiknya.
Ada satu hal yang selalu ia khawatirkan. Adiknya cantik dan menarik. Ia juga cerdas. Mucikari merupakan jahanam yang dapat mengambil segalanya dengan mudah. Ada satu hal yang selalu ia khawatirkan. Adiknya masih sangat rapuh dan polos. Teman-temannya seprofesi merupakan orang-orang yang sangat pandai merebut hati. Ada satu hal
yang selalu ia khawatirkan. Satu hal yang selalu ia takutkan. Satu hal yang selalu ia tidak ingin adiknya tahu tapi pasti ia akan tahu. Satu hal yang selalu membuatnya merasa bersalah setiap kali adiknya menangis karena diejek. Satu hal yang selalu membuatnya merasa berdosa. Satu hal yang selalu ia sesali setiap malam. Satu hal yang selalu membuatnya merasa tidak pantas untuk menghadap tuhannya. Ia sesungguhnya tidak pernah menjadi kakak yang baik.

Ia tidak pernah beribadah sebagaimana ia selalu menyuruh adiknya sholat. Ia tidak pernah mengaji sebagaimana ia perintahkan adiknya untuk mengaji. Ia tidak pernah belajar dengan tekun sebagaimana ia perintahkan adiknya untuk selalu belajar dengan baik. Ia tidak pernah bertahajud sebagaimana ia perintahkan adiknya bertahajud. Ia tahu, kalau bersamanya, adiknya pasti akan berada dalam bahaya besar. Dan kalau adiknya selalu bersama Mira, adiknya akan tumbuh menjadi seorang perempuan mulia. Tapi demi keegoisannya untuk selalu bersama adiknya, ia tidak pernah mengizinkan adiknya pergi jauh dan lama darinya. Dan akhirnya, sampai kapanpun, kakak beradik ini selalu berada dalam satu hati yang tak terpisahkan.

Tapi sekarang kakaknya telah mati. Kekuatannya berhasil dirobohkan oleh sebuah penyakit ganas yang belum juga ditemukan obatnya. Tidak akan ada lagi yang membelanya kalau ia dihina. Tidak akan ada lagi yang membangunkannya tengah malam untuk bertahajud meski ia sama sekali tidak sholat. Kakaknya telah mati. Orang yang selalu menyemangatinya pergi. Jauh selamanya. Padahal ia sendiri yang selalu melarangnya pergi jauh.

Tengah malam begini, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak tahu harus kemana meminta tolong. Sekedar suara saja ia tidak punya. Semua telah pergi bersama kepergian kakaknya. Tangisnya, tawanya, bahagianya, sedihnya, marahnya, kecewanya, takutnya, harunya, bangganya, kekuatannya. Kini ia tak ada bedanya dengan si kakak. Mati, Meski jantung masih berdegup. Mati, Meski paru-parunya masih bekerja. Mati, meski darahnya masih mengalir.

Padahal ia baru saja merasa sangat bahagia akhirnya kakaknya kembali sholat saat ia masuk ke kamarnya tadi. Apa yang selama ini ia pinta pada tuhannya, agar kakaknya diberikan kebahagiaan, agar kakaknyatidak perlu menjadi wanita panggilan lagi, agar Tuhan sudi menerima tobatnya, baru saja ia lihat di depan matanya. Kakaknya kala itu bersujud. Menyejajarkan keangkuhan kepalanya dengan kehinaan kakinya. Tidak ada beda. Saat dimana semua di dunia ini seharusnya merasa kecil.

"Kamu harus langsung pergi ke rumah Mbak Mira sekarang juga, Mawar!" perintahnya kepada si adik begitu ia selesai sholat. "Kamu harus ikuti semua kata-kata Mbak Mira. Jangan membantah. Ikut kemana Mbak Mira pergi. Mbak Mira akan selalu menjaga kamu. Seperti kakak selalu menjaga kamu," matanya mulai berkaca-kaca saat itu.

Si adik tidak mengerti kenapa kakaknya tiba-tiba mengusirnya. Tapi menurutnya, ini jelas sebuah pengingkaran janji. "Kakak sendiri yang bilang kalau aku tidak boleh pergi jauh! Aku tidak mau!" "Jangan membantah, Mawar! Pergi ke rumah Mbak Mira sekarang juga!" "Aku tidak mau, kak! Aku tidak mau pergi jauh dari kakak!" suaranya meninggi. Tiba-tiba matanya juga menghangat. Ia yakin akan terjadi sesuatu.

"Pergi sekarang, Mawar! Pergi!" tubuhnya yang lemah ia paksakan untuk berdiri. Tapi tidak bisa. Ia akhirnya jatuh. "Pergi, Mawar! Pergi dari sini!"
"Kak… kakak kenapa? Aku tidak mungkin meninggalkan kakak seperti ini!
Aku tidak akan pergi!"
"Oke, kalau kamu tidak mau pergi. Tadi kakak sudah telpon Mbak Mira supaya jemput kamu. Kamu tinggal tunggu saja Mbak Mira datang." "Kak!" si adik menginterupsi. Ia tidak terima dengan semua ini. "Kakak kenapa sih? Aku tidak akan pergi, kak! Kita akan selalu sama-sama…" Mereka saling berpandangan. Tidak peduli dengan air mata yang deras mengalir. Kakak beradik ini sama-sama mengerti, tidak akan ada lagi pertemuan antara mereka. Sekeras apapun usaha mereka untuk membuang prasangka buruk itu, pandangan mata mereka kini mengisyaratkan hal yang sama. Ya, tidak ada pertemuan lagi setelah ini. Karena sang adik harus segera pergi. Jauh dari tempat ini. Dan sang kakak pun harus segera pergi. Jauh dari dunia ini. Selamanya.

"Kita akan selalu sama-sama, kak," sang adik merengkuh kakaknya yang kini begitu lunglai tanpa daya. Berdua mereka saling berdekapan. Air mata mereka menyatu dalam sebuah drama perpisahan tak terperi yang tak pernah mereka bayangkan. "Kakak sendiri yang bilang dulu…" "Maaf, Mawar. Maafin aku…" hanya itu yang bisa ia ucapkan sekarang, setelah bertahun-tahun ia merasa sangat berdosa pada adiknya. Mereka hanya saling berpandangan. Saling berbagi kesedihan. Sebelum semuanya berakhir. Sebelum semuanya tidak akan ada lagi.
"Kak… kakak jangan pergi…" tiba-tiba adiknya berkata. Dengan lembut ia membelai wajah adiknya yang manis. Ia menggeleng.
"Bukannya Mbak Mira selalu mengajarkan bahwa manusia pasti akan mati?"
tanyanya dengan suara terbata. Makin deras aliran air mata mereka. Tangan mereka saling menggenggam. "Mawar, maafin kakak, ya…"
Sang adik sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia pasrahkan semuanya
kini. Ia hanya mengangguk.
"Kamu harus jadi perempuan yang baik."
Mawar mengangguk.
Dengan senyum yang ia paksakan, ia ingin kembali memutar semua memorinya dengan adiknya. "Mawar, sholat!" katanya dengan nada memerintah seperti dulu ia selalu mengingatkan adiknya. Mawar, dengan senyum yang juga dipaksakan, mengangguk.
"Mawar, ayo berangkat ngaji! Mbak Mira pasti sudah nunggu kamu!"
Mawar mengangguk lagi.
"Mawar, sudah selesai belum PR-nya?"
Mawar mengangguk.
"Mawar, tadi tidak ada yang mengejek lagi kan di sekolah?"
Mawar menangis makin kencang. Ia menggeleng.
"Mawar tidak menangis kan tadi di sekolah?"
Mawar menggeleng lagi.
Kakaknya tersenyum. "Begitu dong. Anak cantik tidak boleh menangis,"
lembut, tangan sang kakak menghapus air mata dari wajah adiknya. Lama, yang terdengar hanya tangisan Mawar. Kakaknya sudah berhenti menangis. Mungkin saat itu, untuk menangis saja ia tidak punya energy. "Mawar, kakak tidur dulu, ya. Nanti kalau Mbak Mira datang, kamu harus segera pergi, ya. Pergi, ikuti saja kemana Mbak Mira pergi."Ah. Tidur katanya. Memang, akhirnya sang kakak memang jatuh tertidur. Mawar masih bisa merasakan desah nafasnya yang berat. Mawar masih bisa mendengar degup jantungnya yang lemah. Tapi tak lama. Karena setelahnya ia bisa merasakan dingin yang asing di tangan kakaknya. Ia bisa merasakan dingin yang asing dalam senyum kakaknya. Ia merasakan kekosongan yang aneh dalam tidur kakaknya. Ia bisa merasakan kesendirian yang dalam saat itu. Sendiri. Ia tahu kakaknya telah pergi.
Jauh.
Selamanya.
~
Sebuah mobil jaguar hitam datang tepat setelah seorang gadis belia pergi bersama seorang guru ngaji dari sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun nyaman ditinggali. Seorang wanita gemuk dengan dandanan yang lengkap, dan 2 orang laki-laki dengan badan kekar keluar dari dalam mobil. 2 orang laki-laki tadi masuk ke dalam rumah dan menggeledah seisinya. Semetara wanita gemuk tadi hanya berdiri didepan mobil memperhatikan keadaan sambil menghisap rokoknya. "Bos," kedua orang itu keluar dari dalam rumah menyeret sebuah tubuh berbalut mukena. "Mati, bos." Wanita itu tersenyum sinis. "Sempat tobat juga dia. Baguslah! Mana adiknya?" Kedua orang itu menggeleng. "Tidak ada dimana-mana." "Apa?!" wanita itu tampak murka. Ia segera menghampiri tubuh tak bernyawa itu dan dengan keras menampar wajahnya. "Wanita jahanam tak tahu diuntung!"
Kedua orang berbadan kekar itu merasa waswas kalau-kalau wanita ini akan menamparnya juga. "Kita pulang!" perintahnya. Dan melesatlah jaguar hitam itu meninggalkan tubuh tak bernyawa didepan pagar. Tapi tak lama kemudian terdengar suara senapan diledakkan. Kedua orang berbadan kekar tadi terjatuh dari dalam mobil.Wanita itupun mengambil alih kemudi dalam murka.

2 komentar:

  1. Nice cerpen.. Meski aku merasa masih ada yang missing di sana-sini. Keep writing ya.. :)

    BalasHapus