Sabtu, 29 Januari 2011

Langit Senja Itu

Kesibukan senja kembali terulang. Dedaunan liar pinggiran rel menari-nari. Tergelitik oleh kibasan angin yang menyertai derak laju gerbong-gerbong tua, melesat membunuh waktu. Dilatari semburat senja yang tumpah di lengkung cakrawala.

Kawanan burung gereja telah sampai pada waktu pulangnya, bergerombol menembus awan yang bermetafor menjadi kawanan kapas berwarna-warni, lengkap dengan cita rasa manis dan lembut yang muncul di benak. Berarak. Hingga satu persatu dari mereka bersemu merah, seolah tersipu oleh ratusan pasang mata yang tengah takjub menatapnya dari balik jendela-jendela kereta. Sedang matahari menunaikan janjinya kepada Tuhan untuk hadir tepat waktu di belahan Bumi lain yang telah menantikan sinarnya untuk sebuah kehidupan.


Kembali aku duduk di sini. Bangku kayu panjang, sedikit basah karena hujan tadi siang. Kakiku menapaki tanah yang becek. Serta merta kusandarkan punggungku pada pohon beringin besar yang menaungi bangku ini. Hembusan pertama mengalir lambat, menikmati betul sejuk udara yang tidak mudah didapat ini.

Aku tidak sedang menyiakan waktu. Justru bahagia memiliki momen seindah ini. Membiarkan diriku tersihir oleh pemandangan yang terhampar sejauh sapuan mata. Betul-betul pemandangan yang sederhana, namun fantastis! Di sebelah kiri, sekitar 40 meter dari bangku tempat aku duduk, kereta melintas menyampaikan pesan para perindu kehangatan keluarga. Melihatnya selalu membuat aku ingat keluargaku. Lantas mendongak sedikit, tampaklah burung-burung tengah bertengger sekejap di sepanjang kabel-kabel listrik, sekedar beristirahat sebelum benar-benar pulang. Mimik wajahnya tak henti tersenyum, tanda syukur atas makanan yang didapatnya seharian ini. Sembari membayangkan kicau anak-anaknya yang tengah menunggu kepulangannya dengan perut keroncongan –ah, seolah aku Eliza atau Tarzan yang mengerti bahasa binatang saja.

Juga setapak jalan yang membentang terhadap bangku ini. Ramainya hiruk pikuk sore hari, juga lalu lalang manusia-manusia yang pandai berusaha, menjadi view yang menakjubkan dalam bingkai sosialita.
Terlebih lagi, semua ini dilatari senja yang indah, bahkan lebih indah dari senja kemarin atau kemarinnya lagi. Senja terindah. Seindah cinta yang tersimpan untuk sosok yang tengah kutunggu.
Sepucuk kertas kosong kusiapkan dari tas. Beserta pena, juga buku tebal untuk alas, aku siap memulai lagi. Pukul 17.30, tepat beberapa detik lagi kupastikan ia akan datang. Mataku sudah awas kalau-kalau dia melintas, telingaku sudah kusiagakan kalau-kalau langkah kakinya mulai berderap. Lebih dari itu, ada sesuatu yang kupersiapkan lebih matang –di samping kedatanganku yang lebih awal dari biasanya, dan penampilanku yang bisa dibilang lebih dewasa dari biasanya. Yakni hati yang kupersiapkan lebih jernih dari biasanya. Jernih untuk sebuah keberanian. Keberanian yang melahirkan keyakinan. Keyakinan demi sebentuk kejujuran, untuk mengakui satu dua hal yang tidak pernah aku singgung sama sekali sebelumnya, di surat manapun.

Tiga, dua, satu. Sesosok pria berpostur jangkung tepat melintas di seberang jalan. Cukup jauh jaraknya untuk dia bisa melihat aku duduk di sini. Tapi cukup dekat untukku merasakan aura kesederhanaannya. Polo shirt motif stripes biru-putih berjarak jarang yang dikenakannya membuat ia terlihat lebih cool dari biasanya, tampak segar di kulit putih bersih dan di leher jenjangnya. Dia menggendong ransel hitam di pundaknya yang bidang, tampak tidak terlalu berat, tidak juga ringan. Celana katun santai juga sepatu kets biru yang ia pakai kemana-mana itu membuat ia sempurna untuk (semakin) kukagumi. Oh, tampaknya hari ini adalah hari terbaikku.

Sesaat, aku berbisik kepada Tuhan agar melambatkan waktu satu atau dua detik saja. Agar aku bisa lebih dari sekedar mengagumi kesahajaannya yang membuncah tiap kali langkahnya menapak Bumi, agar aku bisa lebih dari sekedar menangkap keteduhan dari sudut matanya, agar aku bisa lebih dari sekedar mengetahui bahwa dia ada. Sehingga aku bisa secara total menghapuskan keraguan yang sejak beberapa waktu lalu menggantung di langit hatiku.

Keraguan itu. Tepatkah jika kusebut begitu?
Bertahun-tahun, aku berusaha tidak peduli. Kenangan itu tak berbeda dengan cerita manapun. Datang, sudah itu pergi. Menjadi memori yang kurasa tidak menjadi indah untuk diingat apalagi dikisahkan. Bertahun-tahun aku mengelak dari pertanyaan normal seorang perempuan. Lelaki mana? Bahkan aku tidak pernah ingat kalau ia pernah terselip dalam arsip memoriku, entah apakah aku dengan bodohnya tidak tertarik dengan segala prestasi kesederhanaannya, atau karena aku teramat tahu diri sehingga menjadikannya sesuatu yang mustahil untuk kuraih. Ya, aku cukup tahu diri. Dia mungkin punya banyak tangan untuk meraih perempuan terbaik manapun. Dia punya sejuta alasan untuk membuat perempuan terbaik manapun tidak menolaknya. Karena dia bertabur kebaikan.

Tapi lama-lama aku cemburu. Lama-lama aku mulai tidak tahu diri. Lama-lama aku merasa berhak juga untuk mengaguminya, mengagumi kesederhanaannya. Lama-lama aku merasa punya kesempatan dan semangat untuk menjadi kandidat ‘perempuan terbaik’ di matanya. Dan rasa itu pun hadir. Tepat setelah pertemuan tak terlalu pagi itu. Setengah tahun lalu. Ketika seluruh umat Islam ramai menyerukan namaNya di hari kemenangan. Dan kini, menulis surat-surat macam begini menjadi rutin untukku. Biar kutegaskan, baru sampai pada tahap menulis.



Di naungan pohon yang sama, hari ke-27. Penanggalan Sang Heli.

Aku datang lebih awal dari biasanya. Walau begitu, sedikitpun aku tidak merasa rugi. Kulihat langit ikut menyambut kehadiranmu di jalan setapak itu. Ah, kalau sudah begitu, taman ini serasa surga.

Kaudatang sesuai dugaanku. Kaudatang tepat pada waktunya. Kau terlihat lebih sejuk dari biasanya, rambutmu kaupotong pendek, lengan bajumu kaugulung sampai ke sikut. Ini kali ke-27 aku melihat kau menggunakan sepatu biru itu. Tampaknya itu kesayanganmu. Seperti juga ranselmu yang selalu kaugendong kemana-mana.

Langkahmu setegap biasanya, pandanganmu seteduh biasanya, aura yang terpancar darimu adalah kesahajaan seperti biasanya. Hanya itu yang selama 27 hari ini aku dapatkan dari menunggu sepulangnya kau. Aku bahagia luar biasa. Karena memang hanya itu yang membuatku bertahan untuk selalu duduk di sini, menunggui kaulewat di seberang jalan itu.

Kautahu? Hari ini indah. Ya, tentu saja setiap hari indah. Tapi.. maksudku.. hari ini lebih indah dari biasanya. Kurasa ini adalah hari terbaikku. Mungkin karena opini itu, di surat ke-27 ini, kuputuskan untuk mengatakan hal yang tak pernah kukatakan di surat ke-1 hingga 26. Itu berarti bukan sekedar surat yang isinya berupa pujian untuk wajahmu yang tirus, atau ungkapan ‘betapa tegapnya langkahmu’, atau ekspresi kekaguman seperti ‘aku suka pandanganmu, begitu teduh’. Atau seperti yang kukatakan di surat pertamaku waktu itu, yang isinya hanya mengucap salam pertama. Benar-benar hanya 'Hai'

Kumohon kau tidak meledek. Atau dengan kurang kerjaan membuka surat pertamaku itu lagi. (Eh, sedikit klu : amplopnya berwarna kuning. ;) )

Semoga kau berkenan.

Pemuda, sebelum aku memutuskan untuk menyebutmu dengan sebutan pemuda, aku berpikir. Betapa namamu terlalu sakral untuk kusebutkan, betapa aku tak berani menyebut bahkan membisik dengan satu lapis napas pun. Walaupun bisa, aku mungkin perlu napas yang tertahan untuk membisikkannya. Atau napas milik penderita bronkhitis. Sesak karena kesakralan namamu –sebenarnya bukan sekedar karena 25 huruf yang menyusun namamu, tapi karena sosok yang mewujud dalam 25 huruf itu. Betapa namamu terlampau agung untuk kuberitakan kepada tinta-tinta hitam ini. Betapa namamu selalu tersimpan di hati ini saja, Pemuda.

Pemuda, bertahun-tahun aku tak pernah berpikir untuk menyediakan relung khusus untuk menyimpan semua kebaikanmu. Bertahun-tahun, aku tak pernah sengaja membingkai kesederhanaan yang selalu terpancar dari sudut matamu dan tertangkap tepat oleh berkas kekagumanku. Bertahun-tahun, aku tak pernah ingin membuat gejolak di hati karena menyisipkan namamu di biliknya. Bertahun-tahun, aku tak pernah mengaku. Bertahun-tahun, aku hanya ingin melindungimu, melindungiku. Membuat semuanya baik-baik saja seperti sebelum aku mengenalmu. Membuat semuanya tak pernah dimulai, sehingga tidak mungkin berakhir.

Bertahun-tahun dengan kesadaran sepenuh hati aku berusaha keras menutup rapat semuanya dari dalam, sehingga tidak pernah ada harapan atau sejumput perasaan untuk menyadari sesuatupun tentangmu. Dan aku yakin tidak ada celah tersisa sedikitpun. Aku yakin.

Tapi, apa mungkin aku salah? Mungkin ternyata ada celah? Sehingga remah-remah ionik milik kesederhanaanmu berhasil lolos, tertarik remah-remah ionik milik rasa kagumku. Kesederhanaanmu yang terlalu lembut secara kasat mata.

Dan bersenyawalah.

Nyawa kesederhanaan dan nyawa kekaguman.

Hingga mereka bertransformasi menjadi senyawa baru yang kusebut sebagai,.... ahh, sejauh ini aku belum berani.

Alih-alih untuk membunuh nyawa-nyawa kesederhanaan itu, untuk mengusiknya saja aku tak pernah berani.

Lalu, dengan perjuangan yang masih seadanya, aku berusaha menjaga senyawa-senyawa itu agar tetap terlindung dari senyawa-senyawa yang tidak murni, senyawa-senyawa perusak, pengganggu. Aku berusaha menjaganya agar tetap murni begitu.

Karena yang murni itu lebih baik daripada yang tidak. Yang murni mendapat pahala, yang tidak diganjar dosa. Setidaknya begitu yang kuyakini.

Tapi, entah sampai kapan aku bisa bertahan. Menjaganya agar tetap begitu.

Awalnya kupikir, mungkin kau tak perlu tahu tentang ini, sehingga senyawa itu tetap murni begitu.

Mungkin kau tak perlu menyambut agar senyawa itu tetap murni begitu.

Mungkin itu yang membuatku tidak pernah mencantumkan nama, atau barang satu huruf inisial pada surat manapun. Karena kau hanya tak perlu tahu.

Begitu pula aku. Aku tidak perlu tahu, apakah kau juga menuliskan hal yang sama? Atau setidaknya, setitik saja ada namaku dalam khayalmu? Ah, siapa peduli?

Dan percayakah? Meski aku punya kuasa untuk itu, aku tidak menganggap itu sebagai sebuah kesempatan. Karena aku hanya tidak perlu tahu.

Baiklah, aku.. dengan segenap rasa berani, jujur, malu, bertanggungjawab, juga rasa bahagia, (akhirnya dengan yakin berkata) mencintaimu..

Biar kutegaskan sedikit lagi; aku tidak peduli apa kau balas mencintaiku bahkan membenci sekalipun. Karena sekali lagi, yang kuperlu bukanlah itu. Yang kuperlu bukanlah kau yang mencintaiku. Bukan pula kau yang membenciku. Tapi, sosok engkau yang biasa berjalan dengan menunduk karena kerendahan hatimu, pemuda yang selalu bersahaja dalam gelimang kekayaan sekalipun. Seorang kau yang biasa saja. Ya, yang kumau hanyalah mencintai kau yang biasa saja. Cinta karena Tuhanku. Sekali mencintai, sudah itu cukup.

Ya, sekali mencintai,, sudah itu cukup. Bagiku.

Sekali lagi, semoga kau berkenan.

Akhir dari surat ke-27.
Esok datanglah lebih cepat, dan berjalanlah lebih pelan.

Salam


Kulipat surat itu dengan lipatan terbaikku. Kumasukkan perlahan kedalam amplop merah. Amplop merah pertamaku selama 27 hari ini.
Dia sudah lewat sejak tadi. Langit sudah berganti hitam. Angin berhembus lebih kencang. Kurapatkan jaket, bersiap untuk pulang. Aku datang lagi esok hari. Kau ingatlah pesanku.

***
Aku berharap langit akan seindah kemarin. Tapi nyatanya, ia punya jalannya sendiri. Untuk pertama kalinya selama 28 hari ini, hujan turun di sore hari. Awalnya memang hanya rintik-rintik. Tak lama, hujan lebat menderas. Aku tak sedia payung atau jas hujan. Tapi beringin cukup kuat untuk melindungiku dari hujan. Meski tidak bisa melindungiku dari masuk angin dan kedinginan.
Aku cemas. Jangan-jangan kau tak datang. Atau dia memilih untuk lewat jalan lain karena hujan yang terlalu deras.
Seharusnya ia datang 15 menit lagi. Dan seharusnya aku menunggu selama itu pula. Seharusnya. Dan sudah kubilang, langit punya jalannya sendiri.
Suara sirine tiba-tiba meraung-raung. Menantang suara petir dan hujan yang menderas. Sebuah mobil ambulans melintas dengan sangat cepat. Genangan air membuncah ke segala sisi. Dan ambulans itu pun hilang di tikungan, membawa serta separuh harapanku.
Mendadak perasaan khawatir yang besar merasukiku. Curiga, was-was, takut. Jantungku berdebar lebih cepat. Suara hewan-hewan nokturnal mulai bersahutan, seperti berusaha mengalihkan fokusku yang tak pernah lepas dari rasa cemas dan khawatir kepadanya.
Aku sudah menunggu lima menit lebih lama dari seharusnya. 20 menit. Perasaan-perasaan cemas ini tak kunjung reda, seperti hujan yang malah semakin lebat. Aku hampir nekad berlari menuju jalan setapak. Jika saja tak muncul sesosok pria melintas di jalan itu. Berlari-lari kecil.
Aku hampir saja menarik napas lega. Aku hampir saja tenang. Aku benar-benar hampir mengulum senyum. Tapi aku salah. Pria berkulit sawo matang itu berbelok menuju bangku tempatku duduk. Rambut gondrongnya basah. Kemeja hitamnya kuyup. Ia tidak bersepatu biru! Ia tidak menggendong apapun! Ia bukan kau!
Si pria mengucap permisi dan ikut berteduh di sampingku. Kuperhatikan sekali lagi. Ah, bodoh! Tentu saja itu bukan kau! Kau takkan bisa membuatku berhenti menunduk karena rasa maluku padamu! Kau takkan membuatku berani untuk menatap matamu sedekat ini!
Sepucuk kertas calon surat ke-28 buru-buru kumasukkan kembali ke dalam tas. Aku harus bergegas! Jangan-jangan ambulans itu.. jangan-jangan kau... Aku diliputi rasa bersalah yang berlebihan. Maksudku bukan datang secepat itu. Sedikit banyak, aku masih berharap. Semoga kaudatang.
Menembus hujan, akhirnya aku berlari menuju jalan setapak. Jalan dimana dia biasa lewat. Jalan dimana kuharap dia akan lewat pula kali ini.
Aku tak peduli pada sepatuku yang mulai menghitam karena lumpur yang kujejak. Aku tak peduli pada sekujur tubuhku yang basah kedinginan. Juga perut keroncongan yang mulai mual terdesak angin. Aku hanya ingin kau! Maka dimanakah dia?
Seharusnya kau lewat setengah jam yang lalu.
Satu per satu lampu jalan mulai dinyalakan. Jalan setapak ini mulai lengang. Tinggal angin yang melintas hilir-mudik. Tak mungkin berharap kehadirannya lagi. Aku terpaku di tepi jalan. Terlunta. Tungkaiku melemas, tubuhku gemetar. Bahuku naik turun menahan isak. Aku lelah. Kelelahan pertamaku dalam penantian selama 28 hari ini.
Beberapa rintikan hujan, aku masih bergeming. Hampir menyerah kepada langit yang menyebabkan semua ini terjadi. Aku menunduk payah.
Dalam kondisi serba tidak menyenangkan ini, tiba-tiba, hujan seperti mereda. Berhenti untukku saja. Seperti ada naungan yang memayungiku. Bayangan pria jangkung seketika menjelma di tanah yang kupijak. Kuharap itu bukan malaikat maut dengan awan kematiannya yang hendak ‘menjemput’ makhluk masuk angin dan kecapekan ini.
“Anda sakit?” kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya. Kuambil alih payung yang sudah terbuka dari tangannya dengan pandangan tetap tertunduk dan tangan yang gemetar menahan dingin. Perlahan, aku mulai mendongak. Lamat-lamat kuperhatikan sosok itu mulai dari ujung kaki. Sepatu NIKE berwarna biru, celana katun hitam... dan.. Cukup. Aku berhenti. Tak perlu tahu lebih jauh lagi.
Rupanya sosok itu adalah ‘malaikatNya’ yang lain. Tubuh 'bersinar'nya terguyur hujan, tapi kehangatannya tak turut membeku. Terlebih dari jarak sedekat ini. Sesaat waktu berhenti. Dan akalku mulai memikirkan satu hal. Surat-surat itu.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya. Aku menggeleng kuat-kuat, membual dengan yakin. Menimbulkan bunyi 'oh' dari mulutnya.
“Anda sedang menunggu seseorang?” tanyanya, belum puas berbasa-basi. Mendengar pertanyaan itu, aku mendadak gelagapan.
“T-tidak...” Aku menggeleng. Sesaat aku tersenyum jahil yang tak mungkin dilihatnya. Hei! Aku tidak bohong. Aku memang tidak sedang menunggu siapapun. Ya, tentulah. Jika sosok yang kautunggu sudah hadir di pelupuk, apalagi yang kauperlu?
Dengan berlari kecil, dia kemudian bergegas meninggalkanku, setelah terlebih dahulu mengucap beberapa pesan singkat dan permintaan undur diri.
“Tunggu..” Akhirnya aku berani. Menyadari bahwa ini bisa jadi tidak akan terulang.
Berhasil. Ia berhenti lalu berbalik.
Ingin rasanya aku berteriak-teriak marah di batang hidungnya saat ini juga. Begitu teganya kau membuatku cemas karena menungguimu, dan sekarang kau akan tega meninggalkanku sendiri begitu saja, uh?
Tapi rupanya, simpul-simpul rasa hormatku padanya sama sekali tidak terlepas. Meski terkoyak oleh cemas dan setengah putus asa, ia masih terjalin rekat pada serangkaian ikatan induknya. Ikatan cinta. Akhirnya, malu-malu aku hanya bisa berucap,
“Payungmu?”
Seperti tahu isi pikiranku, ia lantas menyodorkan selembar kartu nama. Hampir hancur karena hujan.
“Kapan-kapan antarkan saja ke rumah.”
Setelah sekian lama, akhirnya aku berani mendongak. Sekuat tenaga berlaku seolah tak ada apa-apa. Mencoba mencari kejelasan atas pemilik waktu sore hari ketika aku selalu menanti kedatangannya, ketika aku menuliskan surat-surat tentangnya, pemilik semua tujuan dari usaha penantianku selama 28 hari ini.
Senyumnya terkulum, sungguh lebih hangat daripada berselimut tebal, minum secangkir jahe, sambil membaca kisah-kisah persahabatan seperti yang biasa kulakukan saat hujan turun seperti kali ini. Sungguh lebih hangat dari yang selama ini aku kisahkan di surat-suratku. Waktu kembali berhenti sesaat.
Ia sudah berlalu semenit yang lalu. Tapi separuh sosoknya serasa masih tinggal di sini. Sementara langit masih belum puas berkirim salam kehidupan kepada Bumi dan semua yang berpijak padanya. Oh, betapa langit tak pernah lelah mencari cara untuk selalu memberi. Ya, sudah kubilang, langit selalu punya jalannya sendiri. Jalan untuk selalu memberi. Jalan yang keindahannya tak pernah terduga-duga oleh manusia.
Kumasukkan kartu nama itu kedalam tas. Kusimpan di loket favoritku. Tempatku menaruh ke27 surat itu, juga surat terakhir yang sudah lebih dulu basah. Akhirnya kalian punya rumah untuk kualamatkan.



Tangerang, 19 Juli 2010
'Urfa Qurrota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar