Kamis, 25 Agustus 2011

ISLAM KOKO


Kemal tak pernah melihat bangunan setinggi itu sebelumnya, kokoh berdiri, bertahta emas berkilau. Entah berapa banyak nasi bungkus yang bisa dibeli dengan emas sebesar itu, pikirnya, disusul oleh bunyi perut keroncongan.
“Kau tahu, Mal? Emas yang ada di atas sana katanya bisa membayar seperseratus hutang negeri ini.” Harsya membanyol.
Kemal tak membalas. Tak ingin terlihat bodoh dengan pengetahuannya tentang Indonesia yang masih dangkal. Ia kembali menengadah, tertuju pada emas yang membatu di puncak monumen itu. Teringat simboknya[1] di kampung yang terobsesi untuk memiliki cincin emas. Miliknya satu-satunya sudah ia jual ketika Kemal masuk pesantren di Solo, cincin kawin peninggalan almarhum bapak. Dan itu selalu membuat ia kena marah jika rapotnya tak pernah bisa dibanggakan, atau jika kiai ajengan memanggil simboknya tiap akhir bulan. “Anak tak tahu diuntung!” katanya. Ah, ingin sekali ia mencomot sedikit saja bongkahan emas itu, lalu
mengkadokannya kepada simbok di kampung. Ia pasti senang, pikirnya.
“Mas Harsya biasa toh naik beginian?” tanya Kemal polos, disambung batuk-batuk karena asap rokok dan polusi Jakarta yang bercampur menjadi satu, menyergap napasnya.
“Ya, namanya juga mahasiswa. Kemana-mana naiknya bis murah. Nanti kalo saya sudah jadi bos, kemana-mana naiknya chevrolet, Mal!” celetuk Harsya, disusul tawa khas kawan lama yang bertahun-tahun tak bertemu.
“Ngomong-ngomong kamu kurusan, Mal. Berapa SPP di pondok sekarang?”
“Kalau tidak salah masih lima ratus, Mas.”
“Wah, lima ratus ribu harusnya cukup buat makan daging, Mal! Biar kamu ndak kering begini.” Canda Harsya. Ia tiba-tiba teringat kehidupannya di pondok dulu. Dari tujuh hari dalam seminggu, hanya ada satu kesempatan buat makan enak, yaitu makan siang di hari Jum'at. Sisanya, ya bisa ditebak. Kalau tidak tempe ya tahu, syukur-syukur kalau ditambah sambal dan kerupuk.
“Ya tapi baguslah, Mal. Kalau kamu sudah jadi mahasiswa besok, hidup bisa jadi lebih susah. Kalau di pondok dulu makan tinggal ambil, besok buat makan harus ada duit, nggak bisa juga nunggu kiriman dari simbok terus. Ya, mau nggak mau harus coba kerja.” Kata Harsya sedikit curhat.
“Belum lagi uang kuliah, buku, makalah, modul, dan kebutuhan lainnya, Mal. Beruntung saya dan kamu tidak usah susah-susah cari uang buat bayar kuliah. Bayangkan saja kalau kita nggak dapat beasiswa, uang masuk saja sudah puluhan juta, belum semesterannya. Mungkin kita sudah jadi tukang gali kubur di kampung, kayak si Sapto itu.” tambah Harsya. Kemal hanya manggut-manggut, setidaknya ia menangkap maksud Harsya, yakni tentang perlunya bersyukur.
Keduanya lantas diam. Terbungkam oleh kebisingan lalu lintas Jakarta. Lantunan lagu pengamen meramaikan bis pemerintah itu, entah kenapa warna suara pengamen hampir sama di mana-mana. Tidak di kampungnya, juga di kota  besar ini. Suara-suara yang meneriakkan penderitaan rakyat kecil, berharap didengar dan diperhatikan. Paling tidak diganjar dengan sekeping receh. Ditambah para pedagang asongan, bis itu makin ramai saja.
Kemal antusias memperhatikan kondisi sekeliling. Tak salah apa yang diceritakan kiainya, kota memang penuh godaan, penuh maksiat. Apalagi maghrib-maghrib begini. Perlahan pandangan Kemal beralih pada pria di sampingnya. Harsya, orang yang selalu dianggap kakak olehnya itu tampak berbeda. Sejak bertemu di stasiun tadi, ia masih pangling dengan penampilan kawan lamanya itu. Kemal sadar, ada banyak hal yang telah berubah.  Potongan rambutnya, gaya berpakaiannya, cara berbicaranya.  Berbeda sekali dengan Harsya yang dikenalnya dulu, ketika keduanya masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Ihsan, Solo. Harsya yang tidak mengenal mode, buta fesyen, pendiam, sama seperti dirinya. Betapa berbedanya dengan Harsya sekarang, Harsya si mahasiswa Universitas Indonesia ini.

***
“Nah, ini kamar kos saya, sebelahnya itu kamar mahasiswa dari Batak, namanya Dalimunthe, seberangnya Andri dari Bandung. Malam ini kamu menginap dulu di kamar saya. Besok pagi kita mulai beres-beres kamarmu, kayaknya kamu capek seharian ini. Kamarmu itu yang di pojok sana!”
Kemal manggut-manggut. Ia memang sangat lelah seharian ini dan kasur Harsya terlihat sangat menggoda untuk segera di jamah.
Lusa adalah hari pertama Kemal masuk kuliah, hari pertamanya menjadi mahasiswa di universitas nomor satu di negerinya itu.
“Ohya, makan dulu. Tadi saya sempat beli sedikit makanan. Sebentar, saya ambilkan piring dulu.”
Bak pelayan-pelayan warung padang, Harsya menyiapkan semuanya dengan sigap. Fastfood yang dibelinya di stasiun disajikannya dengan baik. Dikeluarkan satu persatu dari bungkusnya. Meski lelah dan ingin segera terpejam, namun Kemal ingat penyakit maagnya. Mana siang tadi ia tidak menelan sesuap nasipun. Tapi rasa lapar hilang begitu saja ketika Kemal melihat sebuah logo yang tertera di plastik bungkus fastfood yang tidak asing lagi baginya, logo produk yang amat ia hindari, produk Amerika!
“Eh, Mas. Saya boleh tidur duluan? Saya mengantuk sekali.” Kemal mencari alasan.
“Lho, makan dululah. Ah, kau ini, saya sengaja belikan ini karena tahu kamu bakal datang. Jarang-jarang lho saya beli ini. masa kamu nggak ikut makan.” Ucap Harsya sedikit kecewa.
Naluri pertemanannya pun muncul. Sebenci-bencinya ia pada produk-produk berbau Amerika, ia takkan tega mengecewakan kawannya itu. Dengan beristighfar lebih dulu, ia akhirnya bersedia makan. Meski dengan janji akan segera memuntahkannya kembali setelah ini.

***
Pagi menjelang. Sejak hari masih buta, Harsya sudah bangun melaksanakan aktivitas rutinnya. Shalat malam, mengaji, dan membaca dzikir al-ma'tsurat.[2] Kemal tak kalah. Ia bangun lebih awal. Memulai hari pertamanya kuliah, hari pertama mengenakan jas kuning kebanggaan semua mahasiswa itu.
“Lho, kamu masih pake baju itu, Mal?”
“Eg, memangnya kenapa toh, Mas?”
“Ya enggak sih. Nggak pas aja dipake buat kuliah. Nanti kamu dikira ustadz yang mau ceramah.” Kata Harsya dengan nada bercanda.
“Lho kok gitu. Sing penting kan aku ndak telanjang toh. Masih menutup aurat. Lagipula, bukankah kiai ajengan bilang kalau pakaian seperti ini adalah identitas seorang muslim. Justru pakaian-pakaian zaman sekarang banyak yang tidak baik, Mas. Pengaruh Amerika. Yang ndak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bid'ah[3] itu, Mas!” Kemal meledak-ledak dengan aksen medhoknya
Harsya terkejut dengan ekspresi Kemal yang begitu tersinggungnya, “Lho, kok kamu marah? Saya cuma ngasih saran, Mal. Kenapa jadi nyambung ke bid'ah segala.”
Kemal terpaku. Ia sadari nada bicaranya yang meninggi barusan. Harsya berlalu ke kamarnya dengan kening berkerut-kerut. Berlebihan sekali Kemal, pikirnya.
Sepanjang perjalanan dari kosan menuju kampusnya, Harsya tidak menampakkan raut marah sedikitpun. Bahkan ceria seperti biasa. Ramah kepada sesama, menyapa, menegur. Sedangkan Kemal masih berkutat dalam ingatannya tentang kejadian tadi pagi. “Keterlaluan sekali ia!” benaknya. Kemal tak pernah disinggung mengenai cara berpakaiannya yang ia rasa sudah baik. Apa salahnya berbaju koko ke kampus? Apa salahnya bercelana katun ke kampus? Apa salahnya berkopiah ke kampus? Bukankah ia sudah berpakaian taqwa seperti yang diperintahkan Tuhannya? Justru Harsya lah yang patut disinggung. Lihat saja cara berpakaiannya sekarang, sudah seperti orang Amerika saja. “Pengikut bid'ah!” umpat Kemal dalam hati.
Sesampainya di kampus, Harsya dan Kemal berpisah. Harsya segera pamit ke gedung fakultasnya, setelah terlebih dahulu bicara panjang lebar  kepada Kemal. Kantin, masjid, nomor ponsel, kunci rumah. Kemal berjanji untuk mengingat semuanya.

***
“Oh, jadi Anda temannya Harsya si aktivis itu?”
“Oh iya.. Saya ..t-teman baiknya malah.” jawab Kemal gugup.
Kemal memperhatikan lawan bicara di depannya. Wanita belia. Muda dan segar. Tak ia sangka temannya, Harsya, memiliki teman secantik itu. Bahkan Siti si kembang desa di kampungnya pun kalah. Wajahnya putih bersih, rambut panjangnya hitam tergerai, kulitnya mulus terawat. Benar-benar cantik. Ia ingin sekali berlalu, ia tahu betul teori berdua-duaan. Tapi, dihadapan wanita secantik ini wejangan kiainya dulu tak berpengaruh sama sekali, bahkan ayat-ayat Al-Qur'an yang biasa dihafalnya pun raib terlupakan. Benar-benar sihir.
“Hei! Kok bengong?” Wanita belia itu membuyarkan fantasi Kemal.
“Jadi dulu kalian dari pesantren?” lanjut Wanita belia yang Kemal belum tahu namanya.
“Eg,.. iya....K-kami dulu sama-sama nyantri di Solo. Kami masuk ditahun yang sama, hanya saja lulus ditahun yang berbeda. Saya baru lulus tahun ini, setahun setelah Mas Harsya, karena harus ikut kelas i'dad dulu. Kalau Mas Harsya sih udah jago bahasa arabnya, jadi lulus lebih awal.” ungkap Kemal panjang lebar.
“Eh, I'dad? Apaan tuh?” wanita belia itu penasaran.
“P-persiapan. Kelas khusus buat persiapan bahasa arab. Ya hanya buat santri-santri yang ndak jago bahasa arab. Ya seperti saya ini.” Jawab Kemal dengan logat khasnya.
“Oh. Anda juga dapet beasiswa disini?”
“Hm, ya Alhamdulillah..”
Jam istirahat Kemal habiskan untuk berbincang-bincang dengan wanita belia itu. Tak ingat bahwa mestinya ia menemui Harsya di masjid. Hingga kegiatan orientasi mahasiswa berakhir, Kemal keranjingan menghabiskan waktu luang untuk mencari teman baru, yang, ehm, kebanyakan wanita belia. 
***
“Tumben kamu shalat disini, Mal.”
“Eg, iya Mas. Saya sering sholat di mushola fakultas. Jauh kalau ke masjid sini. Ini lagi sekalian mau ketemu teman.”
“Oh. Gimana kuliahnya? Kayaknya kamu udah punya kenalan banyak?”
“Ah, begitulah Mas. Dosennya galak ya, tapi lebih galak Ustadz Hasyim dulu. Hehe. Teman saya sudah banyak, Alhamdulillah.”
Kemal lantas berasosiasi pada bayangan teman-teman barunya. Wanda, Risti, Nasha, Cynthia, Hani, Yasmin, Rini, yang tercantik Peony tentu saja. Ia lantas senyum-senyum sendiri.
“Ya baguslah, asal jangan salah gaul aja. Semoga kamu betah ya.”
“Ohya. Saya tadi mampir di toko baju. Semoga pas di kamu, Mal.” Kata Harsya sambil merogoh sesuatu dari tasnya. Sebuah kemeja motif garis-garis lengan pendek dikeluarkan dari bungkusan khas outlet terkenal.
“Jangan dipelototi aja, Mal. Kenapa? Nggak suka? Takut bid’ah? Tenang, Mal. Ini bukan produk Amerika. Asli Indonesia, bahkan yang punya outlet istrinya ustadz terkenal!”
“Ayolah! Apa salahnya dengan kemeja? Biar kalau ke kampus kamu nggak pakai koko putih itu lagi.” Harsya sedikit memaksa.
Sedikitpun Kemal tak menyentuh kemeja pemberian Harsya.
“Ah, memang susah ngomong sama santri. Pikirannya kolot.” Ucap Harsya begitu saja, sambil membungkus kemejanya lagi.
Tak disangka, Kemal tersinggung dengan perkataan Harsya. Dan dimulai kembalilah perdebatan itu.
“Maksud Mas?”
“Ya kolot. Santri-santri seperti kamu suka berpikir kolot, kuno, konvensional. Baju aja dibilang bid’ah. Sekalian saja bilang mobil bid’ah, bis, pesawat, televisi, telepon, bilang saja semuanya bid’ah!”
“Saya hanya berprinsip pada ajaran kiai saya di pondok dulu, kiai Mas juga! Pakaian taqwa, itulah pakaian yang terbaik.[4] Pakaian adalah identitas seorang muslim. Apa Mas lupa?”
Harsya mendesah, mengeluhkan sesuatu lewat bisikan.
“Justru saya bingung dengan Mas yang makin hari semakin berubah. Udah kena pergaulan pemuda zaman sekarang.”
“Sempit sekali pikiranmu, Mal. Kau pikir yang disebut pakaian taqwa itu hanya koko lusuhmu itu? Kau lihat para peminta di bis-bis kota, atau di pasar-pasar, atau yang menengadah di lampu merah? Berbaju koko, lengkap dengan kopiah. Lantas meminta-minta dengan dalih pembangunan masjid, penyejahteraan anak yatim, ceramah. Apa mereka itu identitas muslim yang kau maksud? Identitas yang menempel di baju koko mereka? Maksudmu begitu?”
Kemal tergugu, “Ya, itu sih mereka saja yang salah menafsirkan.”
“Benar! Mereka memang salah menafsirkan. Sama seperti kamu menafsirkan ucapan kiai itu. Sama salahnya!”
Kemal terhenyak.
“Kau pikir Allah akan memasukkan seseorang ke dalam surga karena baju kokonya? Atau karena kerudung panjangnya? Atau gamisnya? Kau pikir ketaqwaan seseorang di tentukan oleh apakah pakaian yang dikenakannya koko atau kemeja, sarung atau jas? Tidak, Mal! Bukan itu yang disebut taqwa, bukan sekedar berkoko, berkopiah, menenteng kitab, hafal hadits. Tapi yang lebih dari itu.
“Ketaqwaan, kesalehan seseorang ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam sini.” Lanjut Harsya sambil menunjuk dadanya. “Yang ada di hati. Lalu dengan sendirinya ketaqwaan itu akan direfleksikan pada penampilannya. Itulah pakaian taqwa yang sebenarnya.”
“Kalau begitu, Mas membolehkan seseorang telanjang asal hatinya bertaqwa? Begitu?” ucap Kemal tajam.
Harsya tersenyum penuh arti, lantas menjawab dengan tenang, “Jika ada kau temui manusia model begitu, saya berani bertaruh kepala saya! Jika taqwa yang kamu maksud adalah sebenar-benarnya taqwa, saya jamin itu mustahil terjadi. Tapi jika yang kamu maksud adalah taqwa yang mempan di lidah saja, oh... Bukankah telah banyak fenomenanya? Dan sayangnya tidak disadari oleh yang punya lidah.”
Kemal terusik dengan nada sindiran Harsya, dan tak punya akal lagi untuk mendebat kawannya itu. Harsya pun  tahu diri dengan langsung bergegas meninggalkan Kemal. Banyak pekerjaan yang lebih penting daripada berdebat dengan orang kaku seperti itu, pikirnya. Biarlah ia berikan waktu supaya Kemal bisa berpikir lebih cerdas.
***
“Orang seperti itu perlu diberi pemahaman, akh. Banyak faktor yang membuat ia beraliran seperti itu. Faktor internalnya mungkin. Ya, antum sering-sering kasih penjelasan aja. Bahwa bukan berarti segala sesuatu mesti dihadapi dengan pikiran ekstrim. Islam itu kan fleksibel, tapi ingat, ada batasan-batasan yang perlu ditegaskan dan tidak kenal kompromi. Seperti zina, itu sudah jelas tidak boleh. Nggak pake kompromi-kompromian lagi.” Harsya mendengar penjelasan teman DKMnya, Malik, dengan seksama.
“Saya ingin menegaskan ke dia kalau Islam itu universal. Saya ingin dia lebih terbuka terhadap realita Islam saat ini. Yang dikecam, dibilang teroris, dicap barbar. Padahal itu hanya satu pemahaman tentang Islam hasil paradigma yang salah. Saya takut dia terperangkap paradigma itu. ”
Di sela-sela kegiatan padatnya, Harsya menyempatkan diri untuk mencari artikel dan buku yang bisa ia berikan kepada Kemal. Ia tak habis pikir mengapa masih ada pandangan seliar itu terhadap Islam. Itukah yang membuat Islam dikecam, dicap agama kuno, dibilang teroris? Pemahaman yang salah itukah?

***
 “Mal, nanti malam kamu ikut yuk! Film Ketika Cinta Bertahmid tayang perdana di mall sini. Kata temanku filmnya bagus.”
Ndak ah, saya ndak ikut. Bioskop itu tempat maksiat, tempat dosa. Ih, saya takut mati pas nonton. Suul khatimah,[5] na’udzubillahi min dzalik. Lebih baik saya berdzikir dan mengaji saja di kamar, daripada melihat realita kemaksiatan.” Tolak Kemal dengan nada seperti membicarakan kotoran hewan. Jijik. Harsya yang mendengarnya terkejut. Tak menyangka Kemal akan menolaknya dengan alasan kolot seperti itu.
“Saya kira kamu sudah sedikit mengerti. Memangnya saya mengajak kamu berzina di sana? Saya hanya mengajak kamu berhibur. Berhibur itu halal! Saya semakin ndak ngerti sama kamu, Mal.”
Harsya tercekat. Dahinya mengernyit tanda tak suka, “Coba kamu cari di surat atau hadits mana ada larangan berhibur?”
“Saya ndak bilang berhibur itu haram. Cuma caranya itu lho, Mas. Bioskop tuh tempat maksiat. Sarang dosa. Eh, ini malah pengen kesana. Saya yang nggak ngerti sama Mas Harsya. Lama di Jakarta kok jadi kayak gini. Kehidupannya jadi hancur. Beda sama dulu.”
Harsya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kira bacaan-bacaan yang diberikannya pada Kemal akan bisa membuka sedikit saja pikirannya. Ia kira Kemal sudah bisa mengerti. Tapi otaknya seperti membatu. Tak mempan diberi pencerahan apapun.
“Mal, kalau kamu masih bertahan dengan paradigma anehmu itu, silakan kamu kembali ke masa lalu dan hidup di sana. Karena kamu tidak akan bisa bertahan di zaman seperti ini jika tetap berpola pikir seperti itu. Kamu lihat orang barat? Betapa mereka jauh lebih maju daripada kita, orang Islam. Kamu yakin bisa melawan mereka dengan pikiranmu itu? Yang anti Amerika, bahkan anti kemeja? Yang tidak mau menengok realita yang ada sekarang, bahkan berusaha lari darinya dengan alasan penjagaaan identitas muslim? Bagaimana seseorang bisa berlayar di samudera tanpa ilmu navigasi dan perhitungan cermat? Bagaimana kita bisa tahu masalah-masalah dunia jika kita tidak punya ilmu tentangnya? Kau pikirkanlah yang lebih fundamental dari sekedar larangan berkemeja-mu atau anti-bioskopmu itu.”
“Mas mau bilang kalau saya bodoh? Mas mau bilang kalau saya kuno? Saya beribadah pagi-siang-sore, mengaji tak ketinggalan, shalat apalagi, dan Mas bilang saya kuno? Mas melecehkan sisi religius saya!” Kemal makin terpancing emosinya.
“Hei, saya tidak pernah menyalahkan cara beribadah mahdhahmu.[6] Saya hanya ingin kamu lebih pintar memaknai Islam. Dia bukan hanya tentang shalat, mengaji, atau cuma menghadapkan wajahmu ke arah kiblat. Kau lupa satu hal? Ibadah horizontal! Di samping ibadah vertikal. Kehidupan sosialmu, disamping kehidupan dirimu sendiri.” Nada bicara Harsya menegas.
“Mas menganggap diri Mas benar dengan gaya hidup sekarang! Mas membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain?”
Harsya benar-benar hendak pergi, jika saja Kemal memutuskan untuk membungkam  perdebatan itu. Tapi Harsya segera berbalik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan orang hampir terpojok itu dengan tenang, “Sama sekali tidak. Aku hanya miris mengetahui kenyataan bahwa masih ada muslim yang berpikir sesempit itu. Memahami nash Al-Qur'an dan hadits sebagian-sebagian. Apakah dengan kau berpikir seperti ini kau bisa membumikan ajaran Allah? Membuktikan kemuliaan Islam? Kau bisa? “ kalimat Harsya terhenti sejenak. “Berdakwalah dengan bahasa yang dimengerti kaummu.”[7]
Buru-buru Harsya meraih gagang pintu dan pergi dari kamar Kemal. Tapi baru sepelemparan batu ia berlalu, Harsya berbalik, menyampaikan sebaris pesan yang hampir terlupakan. Besok ia berangkat ke Kualalumpur, dosennya mengutus Harsya untuk meneliti Islam modern di sana. Dua minggu saja.
Harsya berjalan sekali lagi menuju kamarnya. Hembusan napasnya panjang. Ini bukan kali pertamanya ia menemui kawan semodel begitu. Banyak kaum ekstrimis hidup di lingkungannya. Tapi mendapati kenyataan bahwa kawan satu sekolahnya dulu itu ternyata juga ber-mindset sama, apa mau dikata?

***
Senja kembali bertamu di langit Bumi, awan keemasan malu-malu menutupi sang bintang Bima Sakti.  Waktunya kau pergi. Bisiknya. Akhir pekan yang memukau. Tak menyesal sedikitpun Harsya mengkhususkan waktu untuk menengok sejenak ke angkasa. Betapa kepenatan setelah dua minggu ini seperti tertarik menuju medan magnetnya, ke atas sana. Bumi manusia selalu disuguhi keindahan oleh langit, tapi langit hanya mendapat kiriman-kiriman kebaikan sekali-sekali saja. Itupun tidak banyak. Padahal langit akan menyajikan lebih banyak lagi keindahan apabila manusia mengirim catatan kebaikan yang lebih banyak kepadanya.
Harsya menyegerakan langkah menuju kosannya. Tak nyaman meninggalkan Kemal dua minggu sendirian, apalagi dengan record hubungan yang kurang baik. Betapapun ia kesalnya kepada Kemal, tak berarti Harsya boleh memutuskan hubungan perkawanannya.
Kumandang adzan membuatnya semakin mempercepat langkah. Kemal, ah bocah itu sebetulnya semakin menyebalkan dengan keyakinan-keyakinan konvensionalnya, baju kemeja dia sebut bid’ah? Harsya hampir terbahak. Terlalu sempit. Sebagai orang yang dianggap abang, Harsya merasa paling bertanggungjawab untuk membimbing Kemal. Dia hanya belum mengerti, lirihnya.
“Trap..” Harsya menghentikan langkahnya, sepelemparan batu jaraknya dari sebuah warung kaki lima. Merasa ada yang mesti ia ketahui dari samar-samar wajah yang tak sengaja dilihatnya barusan. Cahaya remang-remang lampu jalan memperjelas wajah samar-samar itu.
“Kemal?”
Dengan nada heran, Harsya berusaha memastikan. Pria berkulit sawo matang itu, berbaju polo shirt, celana jeans hitam, tanpa kopiah, ah, Kemal, dia sudah berubah? Tapi mengapa di sini? Dan mengapa dengan wanita itu?
Astaghfirullahal ‘adzim. "
Harsya tercekat. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukannya ia tak berpengalaman melihat pemandangan sepasang manusia yang asyik berdua-duaan, tapi yang ia lihat adalah kawannya sendiri, santri lulusan pondok pesantren termasyhur di Solo, yang selalu sensitif dengan sesuatu berbau bid’ah dan maksiat. Tapi kini. Ah, persetan dengan identitas muslim yang pernah ia bilang! Baju koko putih itu memang menunjukkan identitas seorang muslim seperti katanya, hanya saja lebih tepatnya, identitas seorang muslim yang bodoh dan bobrok. Bak malaikat ketika koko menempel di badannya,  tapi ketika yang menempel semodel jas, kaos, polo shirt, atau jeans, identitas muslimnya ikut-ikut ditanggalkan bersama baju kokonya.


Serpong, 19 Mei 2010


[1]               Ibu, bahasa Jawa.
[2]               Dzikir pagi dan petang yang dicontohkan oleh Rasulullah.
[3]               Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi', adalah cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.
[4]               QS. Al-A’raaf : 26
[5]               Meninggal dalam keadaan tidak baik; Suu : buruk, khatimah : akhir.
[6]               Ibadah yang diperintahkan dan telah diatur oleh syar’iat (lebih bersifat vertikal). Dan pelaksanaannya bersifat mutlak. Contoh : shalat, zakat, puasa. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur secara detil, seperti : berpakaian sopan, menjadi warga negara yang baik, dll.
[7]               Al-Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar