Minggu, 05 September 2010

Aku dan Jam Besar

Pukul berapa sekarang? 12 malam? Mengapa kau belum javascript:void(0)berdenting, jam besar? Seharusnya kau sudah mengingatkanku untuk kembali. Mungkin kau juga sedang menunggu. Tapi apa yang kau tunggu, jam besar? Apakah kau juga menunggunya? Apa kau tahu apa yang menahannya begitu lama? Dimana kau, pangeran? Apa yang terjadi? Bukahkah semestinya kau ada sejak 5 jam yang lalu?

Brrr…
ah.. dingin sekali. Jam besar, apakah sekarang sudah waktunya turun
salju? Rasanya dingin sekali disini. Padahal aku sudah mengenakan
mantel berlapis. Brrr…DING… DING… DING…
Ah,
akhirnya kau berdentang juga, jam besar. Apakah kau lelah menanti
kedatangannya? Kenapa kau tidak menemaniku menunggunya sedikit lebih
lama? Aku sendiri kini. Tidak dapatkah kau menahannya sebentar, jam
besar? Dimanakah pangeranku, jam besar? Tidak dapatkah kau lihat dengan
matamu yang besar itu dimana keberadaannya kini. Aku hanya ingin
memastikannya baik-baik saja. Apakah ia juga kedinginan? Apa kau bisa
melihatnya, jam besar?
DING… DING…
Dentingan
keberapa barusan? 5 kah? Ah, 7 dentingan lagi. Hari esok akan datang
dengan segera. Secepat itukah, jam besar? Sehari tanpa wajah angkuhnya?
Setegar itukah aku kini? Ah, jam besar. Seharusnya dia sudah berada
dalam mimpiku saat ini. Tapi mataku belum juga ingin terlelap.
Dimanakah dia? Aku hanya ingin melihatnya. Melihat wajah angkuh itu
menatap tajam pada setiap yang dilihatnya. Dimana mata elang itu?
Apakah ia tidak datang malam ini?
DING… DING…
Hey, dengar! Ada langkah kaki mendekat! Itu pasti dia! Tapi… ah… siapa itu? Bukan! Dia bukan dia,
jam besar. Matanya tidak setajam elang. Dan wajahnya tidak dingin.
Bukan. Orang yang lewat itu bukan dia. Lalu dimana dia? Jam besar?
Sudah dentingan keberapa tadi? 7? Ah, tunggu sebentar lagi, jam besar!
Aku mohon. Aku belum melihat wajahnya malam ini. Dia pasti datang.
Tahanlah sebentar, wahai jam besar! Apakah salju yang turun ini tidak
mampu membekukanmu sebentar saja. Beberapa detik saja. Tunggulah ia
datang, jam besar!
DING… DING… DING…
Tunggu
sebentar… sebentar lagi… aku mohon. Dia pasti datang. Ah, kenapa mataku
hangat? Apakah karena dia belum juga datang? Jangan! Jangan menangis.
Aku tidak boleh menangis. Tidak. Jangan! Aku mohon. Air mata, kenapa
kau mendesak keluar? Jangan! Aku sudah berjanji padanya untuk tidak
menangis. Aku mohon, air mata… jangan luruh… Ia pasti sangat kecewa
jika melihatku menangis saat ia datang. Aku mohon, jangan luruh…
DING…
Ah,
jangan! Jangan lanjutkan. Aku mohon… Tunggulah sebentar lagi. Aku yakin
ia pasti datang. Ia berjanji akan datang. Ia sudah berjanji. Ia tidak
mungkin mengingkari janjinya. Ia pria sejati. Mata elang itu sendiri
yang berkata begitu kepadaku. Jadi aku mohon… Tunggulah sebentar lagi…
Aku yakin dia akan datang. Aku mohon. Tunggu sebentar.
Hey! Lihat! Lihat itu! Dia datang…
DING…
Tapi…
“Apa yang kau lakukan disini, Nina?”
Bukan. Orang ini bukan dia.
Bukan. Bukan dia. Apakah dentingannya sudah berjumlah 12? Benarkah?
Artinya aku benar-benar tidak menemuinya hari ini? Artinya dia tidak
datang? Benarkah, jam besar? Benarkah dia tidak datang? Mengapa ia
mengingkari janjinya?
“Sudahlah, Nina. Berhenti menunggunya… Dia tidak akan datang…”
Siapa orang ini? Berani sekali ia mengatakan itu? Dia pasti datang! Dia tidak pernah mengingkari janjinya. Brr… dingin sekali. Ah, salju sudah menumpuk
diatas kepalaku. Tapi kenapa mataku terus hangat? Kenapa air mataku
tidak berhenti mengalir? Ah, kenapa kau tidak datang, mata elang?
Bukankah kau telah berjanji? Kenapa kau tidak datang?
“Nina…”
Siapa
orang ini? Baik sekali dia membersihkan salju-salju diatas kepalaku dan
menghangatkan tanganku dalam dekapannya. Tapi… apakah ia tahu dimana
pemilik wajah angkuh itu? Hey, kenapa orang ini menangis memandangku?
Apakah ia juga sedang menunggunya? Benarkah? Akhirnya ada yang
menemaniku.
“… berhenti menunggunya…”
Hey,
bicara apa dia? Mana mungkin aku melakukan hal itu! Aku harus melihat
wajahnya. Aku hanya ingin memastikannya baik-baik saja. Hanya itu!
Apakah dia baik-baik saja? Jam besar, tak dapatkah kau menemukan
sosoknya?
“… demi Tuhan, Nina… Dia tidak akan datang…”
Hey!
Menjauh dariku! Jangan pernah bicara hal seperti itu dihadapanku! Dia
pasti datang! Dia tidak mungkin mengingkari janjinya! Kalau kau tidak
ingin menemaniku menunggunya, kau bisa pulang sekarang juga! Aku tidak
butuh ucapan seperti itu!
“Nina aku mohon…”
Jangan
menyentuhku! Aku tidak mau kembali sebelum ia datang! Aku tidak akan
pulang sebelum melihat wajahnya! Aku tidak akan pulang sebelum aku tahu
kalau ia baik-baik saja!
“Nina dia sudah pergi!”
Apa?!
Bicara apa orang ini barusan? Berani sekali! Pergilah! Menjauh dariku!
Sudah kukatakan, kalau kau tidak ingin menemaniku menunggunya, kau bisa
pulang! Aku masih sanggup menahan dingin ini sendirian sampai ia datang!
Hey!
Kenapa kau malah mendekat! Hey! Jangan memelukku! Ah! Lepaskan! Aku
tidak ingin dipeluk olehmu! Aku tidak ingin dipeluk oleh orang yang
mengatakan dia tidak akan datang! Lepaskan aku! Jangan sentuh aku!
Lepaskan! Hey! Jangan eratkan pelukanmu! Aku tidak butuh pelukanmu!
Kenapa kau tidak juga melepaskannya! Tidak sadarkah kau aku sedang menjerit memintamu melepaskan pelukamu? Lepaskan aku!
“Nina, orang itu tidak akan datang…”
Hentikan! Jangan ucapkan itu lagi! Aku benci mendengarnya! Lepaskan aku!
“Apa kau tidak lelah menunggunya setiap hari, di jam yang sama, di tempat yang sama, sejak 3 tahun lalu?”
Apa?
3 tahun? Selama itukah ia menunda janjinya? Rasanya ia baru
melewatkannya sehari yang lalu. Jam besar, benarkah itu? 3 tahun? Ah,
tidak! Tidak mungkin. Ia adalah orang yang tepat janji. Ia tidak
mungkin menunda janjinya selama itu.
“Ayo kita pulang, Nina…”
Pulang? Tidak akan! Tidak sebelum ia datang!
“Mungkin ia akan datang ke rumah nanti setelah kau pulang.”
Benarkah?
Benarkah yang kau katakan barusan? Ia akan datang langsung ke rumahku?
Ya. Aku percaya. Kau tersenyum. Kenapa kau tersenyum sambil menangis?
Ada apa? Dia akan datang ke rumahku! Tidakkah itu membahagiakanmu? Dia akan datang!
“Ayo kita pulang.”
Ya!
Ayo kita pulang! Aku harap, kali ini kau tidak berbohong seperti
malam-malam sebelumnya sehingga aku tidak perlu kembali datang kesini
keesokan harinya untuk menunggunya lagi. Jam besar, aku pulang dulu!
Aku akan segera bertemu dengannya! Semoga orang ini tidak membohongiku
lagi. Semoga dia benar-benar datang dan kau tidak perlu lagi menemaniku menunggunya besok!
Jakarta, 5 September 2010
01.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar