Minggu, 21 Maret 2010

Mata untukmu

Mungkin ini gila. mencintai seseorang yang hanya ada dalam khayalan. Tapi hal ini tidak segila yang dipikirkan orang. Apa salahnya mencintai seseorang yang sangat kita dambakan? Meskipun orang itu hanya ada dalam pandangan matamu sendiri.
~
Hari Minggu, seperti biasa. Aku pergi ke pasar dan membeli banyak sekali belanjaan untuk keperluan jualan ibuku. Usaha warung makan yang kami jalankan Alhamdulillah cukup berhasil. Ternyata tidak salah perkiraanku untuk mendirikan warung makan disebelah kampus. Cacing-cacing dalam perut mahasiswa terbukti lebih cepat lapar dibandingkan yang lain.

Semua sayuran sudah kumasukkan dalam keranjang. Ayam, ikan, daging, dan telur juga sudah beres. Tinggal tauge kedelai saja yang belum aku temukan. Jenis itu memang agak sulit dicari disekitar sini. Akhirnya terpaksa aku kembali masuk kedalam pelosok pasar yang begitu becek. Ada satu penjual tauge diujung dekat wartel. Tapi sayangnya tauge yang kucari sudah habis diborong orang. Penjual tauge yang satunya tidak berjualan. Ya sudahlah. Berarti memang tidak akan ada sayur tauge tahu cabai rawit hari ini.
Tanganku begitu pegal membawa begitu banyak belanjaan. Sampai akhirnya, diujung sebuah gang, tentengan-tentengan yang ada ditanganku terlepas. Inilah efek tidak sarapan. Tidak ada energy bahkan untuk mengangkat keranjang yang biasanya terasa biasa untukku.
“Sini biar gue bantu,” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku ketika tanganku hendak meraih gagang keranjang yang lain.
Aku menengadahkan wajahku hanya untuk menatap orang itu. Dan sepertinya, saat itu otot mataku rusak. Sama sekali tidak mau berkedip untuk beberapa detik dan menciptakan keheningan. Orang itu bertubuh kekar dan rambutnya gondrong. Wajahnya begitu sangar dan garang. Aku bisa lihat tattoo naga yang ada disepanjang lengannya. Dan bukankah dia preman yang biasanya menjaga daerah ini? Preman yang biasanya memalak orang yang lewat, bahkan tidak segan untuk membunuh?
Akhirnya aku hanya diam dan membiarkannya mengikuti langkahku menuju rumah. Aku pasrah apapun yang terjadi nantinya.
“Awas!” tiba-tiba ia menarik tanganku ketika hendak menyebrang jalan. Dan benar saja, sepersekian detik setelah itu, sebuah mobil melaju dengan kencang dan menghilang dengan cepat di tikungan.
Jantungku berdebar kencang. Napasku tidak lagi teratur. Ya Tuhan, seandainya ia terlambat… Aku mengamati wajahnya yang saat itu juga sedang menatapku. “Te…rima kasih,” aku berkata dengan terbata.
Dia mengalihkan pandangannnya dan kembali berjalan dibelakangku. Akhirnya kami sampai di rumah. Satu-satunya orang yang tinggal bersamaku di rumah, Ibuku, kaget melihat bersama siapa putrinya pulang. Dan setelah preman itu pergi, ia menanyakan banyak hal padaku tentang apa yang dilihatnya.
“Ibu ngga salah liat, kan, nduk?”
Aku hanya menggeleng sambil mengamati punggungnya yang semakin jauh.
~
Hari berikutnya, aku ke pasar. Sengaja aku lewat didepan gang kami bertemu kemarin. Tapi apa yang aku lihat kini begitu berbeda.
“Mana duit lu?” suara yang kemarin menemaniku. Nadanya mengancam. Aku tidak bisa menemukan letak pasti dimana sang pemilik suara. Tapi aku tau dia pasti ada disini.
“Ngga ada!” bentak yang dipalak tak kalah garang.
“Serahin duit lu atau…”
“Atau apa?” orang itu justru balik menyerang.
“Bangsat!”
BUG!
“Argh…”
Dan itulah yang aku dengar berikutnya. Entah apa yang terjadi diantara mereka. saat itu aku benar-benar takut. Aku tidak ingin menyaksikannya keluar dengan penuh luka. Jadi aku memutuskan untuk pulang.
~
Hari berikutnya. Seperti kemarin, aku melewati gang itu. Kali ini aku berhasil menemuinya sedang bersantai mengamati pasar diatas sebuah becak yang pasti tukangnya ia ancam. Ada luka baru diwajahnya yang masih belum kering. Seperti luka terkena benda tajam. Matanya pun bengkak.
Aku berjalan mendekat. Tapi tiba-tiba ia berdiri berjalan menuju sebuah warung.
“Rokok, bang!” katanya dengan santai. Pastinya sang pemilik toko tidak ikhlas dagangannya habis begitu saja tanpa uang. Tapi daripada mencari masalah dengan preman?
Dan setelah itu ia menghilang entah kemana.
~
Hari berikutnya. Aku semakin gelisah ingin menemuinya. Ibu sepertinya bisa melihat perubahan sikapku ini.
“Kamu ngga pa-pa kan, nduk?”
“Ngga pa-pa, Bu.”
“Lha terus. kok akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu kayaknya ngga seceria dulu. Mikir opo tho?”
Aku menggeleng. “Bukan apa-apa, Bu. Andin ke pasar dulu,” aku pamit pada Ibuku.
“Kamu ngga jatuh cinta sama preman itu kan, nduk?” tiba-tiba ibu bertanya ketika aku melangkahkan kaki keluar.
Aku diam di tempat. Jatuh cinta? Apa itu jatuh cinta? Inikah cinta? Mencari seseorang yang ingin kita lihat dimana saja? Bahagia begitu menemukannya? Ingin mengutarakan apa yang ada dipikiran kita tetapi bibir tidak mampu mengucapkannya? Inikah cinta?
“Nduk?” Ibu memanggilku yang terdiam.
Aku tidak tahu. Akhirnya aku hanya terus berjalan menuju pasar yang becek.
~
Dan lagi-lagi aku melewati gang itu. Tapi aku tidak menemukannya. Aku berputar beberapa kali ketempat biasa ia berada. Tapi ia tidak disana. akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Dan semua orang menjawab tidak tahu.
~
Begitu sampai di rumah ibu menyambutku dengan ceramah panjang.
“Kamu kalo naksir orang ya kira-kira tho, nduk. Mau ditaro dimana muka kita kalo kamu jadi sama preman pasar yang hobinya judi sama mabok itu. Kan masih banyak yang lain yang mau sama kamu. Kamu cantik, baik, pintar. Cocok sama Mas Danu yang suka mampir kesini. Dan keliatannya dia juga tertarik sama kamu. Coba kamu pikir, nduk!”
“Ngga gitu, Bu. Andin Cuma ingin berterima kasih karena waktu itu dia sempat nyelamatin Andin.”
“Ibu tahu ngga Cuma itu. Kamu suka kan sama preman itu? Ibu denger sendiri dari bu Wati. Katanya tadi kamu sampe nanya ke orang-orang dimana Mamad si preman itu. Jangan bohong sama ibu, nduk. Ibu yang ngebesarin kamu dari kecil sampe sekarang. ibu kenal siapa kamu dan ibu kenal orang macam apa Mamad itu! Jangan kamu cari dia lagi!”
Maaf, ibu. Tidak semudah itu menggoyahkan … keyakinanku. Benarkah ini sebuah keyakinan? Bahkan untuk menyebutkannya saja aku tidak yakin. Dan yang aku yakini hanyalah aku ingin menemui dia. Meskipun aku tidak tau ini cinta atau apalah orang bilang.
Dan seperti kemarin. Aku tidak menemukannya dimanapun.
~
Hari-hari berikutnya masih sama. Aku mencarinya dan tidak menemukannya. Aku benar-benar tidak yakin dengan semua perasaan ini. Inikah cinta? Atau hanya rasa balas budi? Dan selama itu pula Ibu selalu menceramahiku.
“Kemarin Mas Danu datang ke Ibu. Dia bilang dia ingin melamar kamu,” kata ibu ketika kami sedang memasak.
Aku tersentak. “Melamar?”
“Iya. Dia bilang minggu depan akan ajak orangtuanya kesini untuk melamar kamu.”
“Dan ibu setuju?”
“Ya iya. Moso iya ibu biarin kamu nikah sama orang ngga jelas yang kamu cariin tiap hari di pasar? Ibu ngga pingin masa depan anak ibu suram!”
Aku meletakkan pisauku dengan kesal. Aku pergi meinggalkan dapur dan mengunci diri di kamar. Dari luar ibu tetap berusaha membujukku. Ibu bilang kalau Mamad tidak pantas untukku. Dia bejat dan brengsek. Tidak seperti Danu yang orang baik-baik. Ibu tidak mengerti. Ibu tidak paham. Kalau apa yang aku rasakan sekarang ini adalah… cinta.
Ya! Cinta. Akhirnya aku yakin dengan kata itu sekarang. aku selalu ingin bertemu dengannya, selalu ingin berbicara dengannya, selalu mencarinya, selalu bahagia begitu menemukannya, selalu kecewa setiap kali tidak menemukannya. Ini cinta, Ibu! Aku mencintai Mamad. Tidak peduli seberapa buruk Mamad dimata orang. Yang aku yakini, Mamad adalah orang baik. Sangat baik. Hanya saja mereka semua tidak dapat melihat itu. Tidak sadarkah para pedagang dipasar bahwa Mamad lah yang menjaga mereka berdagang. Tanpa Mamad, bisa saja ada preman lain yang berbuat seenaknya. Apa salahnya kalau ia meminta sedikit imbalan berupa rokok atau apalah.
Mamad orang yang baik! Mana mungkin ia dibilang berhati jahat karena membantuku membawa belanjaan yang begitu berat. Mana mungkin Mamad adalah orang jahat karena menyelamatkan nyawaku! Mamad orang baik. Hanya saja mereka tidak dapat melihatnya.
Maka dengan segenap keberanianku, aku keluar kamar dan pergi ke pasar. Tidak peduli seberapa keras Ibu menarikku kembali. Aku yakin sekarang. Aku mencintainya!
“Andin! Pikir, Andin! Mamad bukan orang baik-baik!”
“Mamad orang baik, Bu!” aku membentak. Ibu diam. Aku merasa bersalah karena telah melakukannya. “Hanya saja Ibu ngga bisa lihat kebaikannya,” aku berkata lebih lembut. Dan meninggalkan Ibu yang terpaku ditempat.
“Andin…”
“Andin mencintai Mamad, Bu!” lagi-lagi aku meninggikan suaraku. “Seperti Ibu mencintai Bapak!” dan kata-kata terakhirku adalah yang terdalam bagi Ibu. Aku tahu Ibu tidak pernah melupakan Bapak dalam setiap do’anya. Aku tahu ibu selalu mencintai Bapak meski Bapak sudah tiada. Aku tahu dan aku bisa merasakan itu. Sekarang apa salahnya aku merasakan hal yang sama… pada Mamad?
Airmata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah juga seiring langkahku menuju pasar. Aku tidak bisa lagi memendam ini. Satu inginku yang belum juga bisa kukabulkan akhir-akhir ini adalah bertemu dengannya. Ada banyak hal yang ingin aku ucapkan padanya. Ada terima kasih, ada tawa, ada senyum, dan ada tangis yang tertahan dalam hatiku. Dan langkahku semakin pasti ketika memasuki pasar. Belokan terakhir diujung pasar.
Namun semakin aku mendekati tempat itu, semakin jelas aku mendengar suara surat Yasin dibacakan. Dan baru aku sadari, bendera kuninglah yang dari tadi mengiringiku sepanjang jalan. Perasaanku berkata tidak baik. Ada sesuatu yang menyuruhku kembali. Tapi aku tidak ingin melepaskannya bagitu saja.
Dan jelaslah semua ketika aku benar-benar tiba diujung belokan itu. Disebuah rumah gubuk yang reyot, orang ramai berkumpul. Al-qur’an di tangan mereka. aku memerhatikan dengan nanar. Mungkihkah Mamad pergi? ketika aku sudah yakin dengan apa yang aku rasakan?
Aku menyibak kerumunan orang-orang itu. Dan pada satu titik, aku terdiam. Aku menemukan kekosonganku kembali. Namun tiba-tiba saja kekosongan itu jatuh lebih dalam. Teramat dalam hingga mataku basah dan buram. Mungkinkah Mamad…
“Dia meninggal sewaktu menyebrangkan Ibu saya…” tiba-tiba terdengar suara seseorang disebelahku, suara penjaga warung tempat Mamad biasa meminta rokok.
Aku tidak bereaksi apa-apa. Aku yakin aku mencintainya, oleh karena itu aku bisa menemukannya. Aku yakin ia orang yang baik, oleh karena itu aku berhasil menemukannya. Aku hanya diam. Tubuhku limbung. Keyakinan ini yang mengantarkan aku padanya. Aku terjatuh diatas lututku.
“Mamad…” suaraku lirih.

Semua orang mulai bersimpati padaku. Kini mereka mengerti kenapa aku selalu melewati gang itu. Kini mereka mengerti siapa yang aku tunggu. Kini mereka mengerti bahwa Mamad bukanlah orang jahat.
Pandanganku semakin kabur. Air mata menutup semua penglihatanku. Deras aliran air bening itu melewati pipiku. Dan putaran memori setiap kali aku menemukannya terlintas dalam benakku. Sekarang semua terasa begitu hening. Hanya ada kami saat itu. Saat ia membawakan belanjaanku. Saat ia menarik tangaku. Saat ia menatap wajahku. Saat aku mengamatinya pergi. saat aku berhasil menemukannya. Dan hingga akhirnya berakhir di titik ini.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang hangat membelai pipiku.
“Mamad…” aku berkata lirih.
“Nduk, ikhlas, Nduk. Maafkan, Ibu, Andin. Ibu ngga tahu akhirnya akan seperti ini. Ibu minta maaf, Nduk. Yang ikhlas, ya, nduk. Semua ada hikmahnya…” Ibu memelukku erat dan membalikkan badanku agar aku tidak bisa melihat Mamad. Agar aku tidak bertambah sedih.
Tapi Ibu, Ibu tidak pernah tahu, mencintai Mamad itu berbeda. Mataku berbeda dari yang lain dalam memandangnya. Kalian tidak pernah tahu. Mata seperti milikku inilah yang bisa merasakannya. Kalian tidak pernah tahu.
Jakarta, March 21, 2010
01.37.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar