Kemal tak pernah melihat bangunan setinggi itu sebelumnya, kokoh berdiri, bertahta emas berkilau. Entah berapa banyak nasi bungkus yang bisa dibeli dengan emas sebesar itu, pikirnya, disusul oleh bunyi perut keroncongan.
“Kau tahu, Mal? Emas yang ada di atas sana katanya bisa membayar seperseratus hutang negeri ini.” Harsya membanyol.
Kemal tak membalas. Tak ingin terlihat bodoh dengan pengetahuannya tentang Indonesia yang masih dangkal. Ia kembali menengadah, tertuju pada emas yang membatu di puncak monumen itu. Teringat simboknya[1] di kampung yang terobsesi untuk memiliki cincin emas. Miliknya satu-satunya sudah ia jual ketika Kemal masuk pesantren di Solo, cincin kawin peninggalan almarhum bapak. Dan itu selalu membuat ia kena marah jika rapotnya tak pernah bisa dibanggakan, atau jika kiai ajengan memanggil simboknya tiap akhir bulan. “Anak tak tahu diuntung!” katanya. Ah, ingin sekali ia mencomot sedikit saja bongkahan emas itu, lalu